Tidak banyak perancang busana yang masih memprioritaskan budaya lokal, termasuk kain-kain tradisional. Sofia Sari Dewi bisa menjadi salah satu perancang unik tersebut.
Perempuan asal Yogyakarta ini menekuni desain pakaian dengan memakai bahan etnik yaitu batik. Agar tidak ketinggalan mode, Sofia memadupadankan batik dengan jenis kain yang digandrungi anak muda, seperti jeans.
Awalnya, perempuan penyuka kucing ini tidak sengaja menemukan passion menjadi perancang busana etnik. Ia sempat kuliah dan bekerja di luar jurusan yang dikehendakinya. Namun karena desakan pribadi, ia pun belajar otodidak dari buku-buku dan lingkungan. Hingga kemudian ia mendapat beasiswa sekolah fesyen.
Sejak itu, merancang busana menjadi dunianya. Ia menggelutinya dan memasukan nilai-nilai idealisnya di setiap rancangannya. Idealisme itu dituangkan dalam lini busana Swanstwenty pada 2012. Gaya etnik nusantara menjadi ikon Sofia.
Budaya Jawa menjadi salah satu yang menarik jiwanya karena ia juga asli orang Jawa. Tapi Sofia tidak bisa memungkiri gairahnya sebagai anak muda yang senang bertualang. “Saya ingin tampil trendi tapi tidak harus melupakan budaya lokal. Rasanya geregetan melihat kain-kain tradisional terus dianggap kuno. Ini tantangan. Saya harus menjadikan pakaian tradisional sebagai sesuatu yang menyenangkan dipakai keseharian,” kata Sofia.
Sofia menerobos pakem pemikiran dengan memadupadankan kebaya dengan celana jeans kasual dan momen keseharian. Sofia juga mengadaptasikan kain tradisional dengan model yang up to date dan mengusung nilai-nilai generasi muda.
Tidak berhenti di situ. Sofia mengombinasikan bahan tradisional dengan bahan universal yang dijual di pasaran. Contohnya, meleburkan lurik dan jeans dalam satu model jaket. Selebihnya, Sofia lebih banyak bermain-main dengan katun dan batik.
“Aku mencari bahannya keliling mulai dari Tanah Abang, Cipadu, Bandung, sampai Yogyakarta. Inginnya explore lebih banyak,” kata Sofia.
Agar berbeda, ia memproduksi pakaiannya secara ekslusif alias tidak diproduksi secara massal. Sekali pembuatan, Swanstwenty hanya akan memproduksi 12-24 buah per model pakaian. Ia menyasar perempuan usia 18 hingga 30 dan menjual harga rancangannya Rp 300 ribu hingga Rp 3 juta untuk satu buah busananya.
“Respon pasar positif. Tapi saya banyak dikritik karena harganya terlalu mahal. Akhirnya, saya buat lini busana kedua bernama Nimonina. Ini untuk kelas B ke bawah dengan kisaran harganya Rp 100 ribu hingga Rp 300 ribu,” kata Sofia bercerita.
Dengan modal Rp 200 juta untuk berbelanja kain dan mesin jahit, ia pun mempromosikan lewat media sosial dan mengikuti berbagai perlombaan perancang busana. Sofia berpikir, karyanya akan mulai dilirik apabila ia sudah mendapat pengakuan.
Strategi Sofia berhasil. Rata-rata Swanstwenty bisa membukukan penjualan Rp 10-20 juta per bulan. Angka tersebut lebih besar tiga kali lipat dibanding penjualan 2013 yang rata-rata hanya terjual Rp 3 juta tiap bulan.
“Untuk bisa balik modal memang masih berat. Saya percaya kesuksesan diraih bertahap. Pelan-pelan nanti pasti bisa untung. Nanti setelah label Swanstwenty semakin dikenal,” kata Sofia optimistis.
Sempat Ditolak Pusat Perbelanjaan
Hingga saat ini, ia hanya menjual hasil rancangan busananya melalui media sosial dan toko online. Namun bertahap, ia mulai bekerja sama dengan pusat perbelanjaan agar bisa disejajarkan dengan merek ternama.
“Saya benar-benar mulai dari nol. Sampai sekarang butik saja tidak punya, hanya mengandalkan penjualan online dan pesanan teman-teman,” kata Sofia.
Sofia berencana menyewa sebuah lahan kecil di Sogo dan Metro Departemen Store. Ini akan jadi awal lompatan besarnya. “Saya langsung ditolak mereka. Tapi setelah mendengar konsep label Swanstwenty, mereka bersedia memertimbangkan. Sekarang saya harus menunggu apakah label Swanstwenty diperbolehkan jualan di sana atau tidak,” katanya.
Menurut Sofia, penetrasi pasar fesyen di Indonesia sangat sulit. Pasalnya, masyarakat Indonesia sudah telanjur mengidolakan lini busana luar negeri dibanding perancang lokal. Persoalan lainnya, konsumen Indonesia masih sensitif harga.
“Konsumen tahu perbedaan kualias batik tulis dan batik print. Tapi tetap saja mereka rewel dan milih beli yang murah. Saya mengakali gaya hidup itu dengan membuat dua lini busana berbeda,” kata Sofia.
Kerasnya persaingan pasar fesyen memaksa Sofia menerima kenyataan ia tidak bisa menjalankan bisnisnya sendirian. Sofia mengajak kenalannya berinvestasi. Kebetulan saat itu Sofia hampir kehabisan uang untuk melanjutkan usahanya.
“Aku dapat investor malah jadi belajar perputaran uang. Aku diharuskan mengerti soal production cost, fix cost, harga jual, cash flow, revenue, dan lainnya. Partner bisnisku juga memaksaku berpikir komersil. Jadi tidak hanya merancang yang aku mau tapi melihat keinginan pasar,” kata Sofia.
Nama: Sofia Sari Dewi
Tempat tanggal lahir : Yogyakarta, 2 November 1983
Anak: kedua dari dua bersaudara
Makanan favorit : Sayur Bobor, Sambal jenggot, Tempe garit
Minuman favorit : Teh manis panas
Makanan yang kurang disukai : Makanan terlalu asin
Hobi : travelling, baca buku, blogging, photography, fashion hunt
Motto : Tetap menjadi diri sendiri dan harus berguna bagi orang lain
Warna favorit : putih, pink, gold, hitam
Label pakaian: Swanstwenty dan Nimonina
Alamat: Jl. Gandaria I No.47 Kebayoran Baru
Jakarta Selatan 12130
thank you untuk reviewnya ^_^
Semoga sukses usahanya mbak