Tidak semua imigran gelap mampu selamat hingga negara tujuan. Ada yang tewas saat perjalanan atau justru meninggal saat tiba di tempat persinggahan.
Sebagai salah satu negara berpenduduk terbesar di dunia, China melakukan imigrasi ke beberapa negara, khususnya ke Amerika Serikat. Mereka kebanyakan datang dalam jumlah banyak dan mencari penghidupan lebih baik.
Sejarah orang China yang berimigrasi ke AS pertama kali sebanyak 1.000 orang pada tahun 1820. Berdasarkan catatan Pemerintah AS, semua imigran tersebut pria.
Demam emas California pada 1848 memicu lebih banyak kedatangan orang China ingin menambang emas dan bekerja kasar.
Pada 1852, imigran China sudah mencapai 25 ribu orang lalu menjadi 105.465 orang pada 1880. Sebagian besar tinggal di Pantai Barat. Sebagian besar imigran awal adalah pria muda berpendidikan tak memadai dari Provinsi Guangdong.
Cerita perjalanan imigran China bisa dilihat di Wikipedia.
Kembali ke film Brush with Danger, film tersebut mengisahkan imigran gelap dari China ke AS. Imigran sengaja masuk melalui kontainer yang biasa digunakan untuk barang.
Anehnya, satu kontainer bisa berisi lebih dari 10 orang. Saya membayangkan, bagaimana mereka bisa hidup karena perjalanan dari China ke Seattle, Washington, AS cukup jauh.
Lepas dari itu, dua tokoh utama Alice (Livi Zheng) dan Ken (Ken Zheng) yang ikut dalam rombongan di kontainer tersebut selamat dan sampai di AS dengan selamat.
Mereka mencari ayahnya yang lebih dulu menjadi imigran di sana. Namun tanpa bekal cukup, mereka memberanikan diri menjadi imigran.
Akibat tidak memiliki rumah atau peraduan di sana, mereka kelimpungan. Beruntung Alice pintar melukis dan membawa lukisannya.
Alice menjual lukisan di sebuah pasar terbuka. Ken yang ahli bela diri pun memertontonkan kebolehannya. Keahliannya pun menghasilkan uang dan mereka pun bisa makan.
Kemampuan mereka berdua yang sekaligus bisa beladiri juga mampu menolong ibu tua pemilik sebuah restoran yang dicopet. Ibu tua tersebut menawari makan dan tempat tinggal.
Namun Alice menolak kebaikan ibu tersebut. Ia tetap berusaha mandiri sambil mencari ayahnya.
Suatu hari ada yang berminat terhadap lukisan Alice dan menawarkan kerja sama menjadi pelukis di galeri. Justus Sullivan, pemilik galeri berani membayar tinggi atas lukisan-lukisan yang dibuat Alice.
Awalnya, Alice sempat ogah menerima tawaran tersebut karena lukisan tidak boleh ditulis namanya. Ia seakan menjadi pelukis bayangan.
Apalagi Alice sempat mendapat tawaran melukis karya Van Gogh dan dibayar tinggi oleh Justus. Konflik pun mulai beradu di sini karena ternyata ada seorang Polisi yang sedang menyelidiki kasus serupa.
Di AS, banyak kejadian pembunuhan imigran gelap, khususnya terkait lukisan dan korbannya merupakan wanita Asia.
Film berdurasi sekitar 90 menit ini mudah dipahami karena alur dibuat ringkas. Bahasa percakapan pun khas imigran Asia sehingga mudah dipahami meski tidak memakai subtitle. Tapi tenang saja, film ini memiliki subtitle Bahasa Indonesia kok.
Apa yang menarik dari film ini?
Film tersebut disutradarai Livi Zheng, warga Malang kelahiran 3 April 1989 yang menuntut ilmu ke China dan AS. Film tersebut murni diproduksi di AS dan telah dirilis di AS sejak 19 September 2014.
Ia memulai karir sebagai pemeran pengganti sejak usia 15 tahun. Pada usia 4 tahun, ia dan keluarga pindah ke Jakarta. Ia juga menjadi penggemar Jet Lee dan Bruce Lee. Akibat kekagumannya itu, ia membuat film ini.
Zheng memiliki satu adik, Ken Zheng yang juga terlibat dalam film tersebut. Ia dan Ken pindah ke Beijing saat berusia 15 tahun dan ke AS ketika berusia 18 tahun. Ini bisa jadi semacam kisah mereka sendiri dan difiksikan menjadi seorang imigran.
Pengambilan gambar film ini dibuat selama 27 hari pada 2013 di Seattle, Washington, dan Los Angeles, California.
Masuk Nominasi Oscar
Livi Zheng merupakan satu-satunya wanita Asia pertama yang filmnya sukses di dunia perfilman di AS. Hasil karyanya sempat terpilih masuk seleksi Piala Oscar dan tayang di AS selama hampir dua bulan.
Awalnya, menurut pengakuan Livi, ia sempat tak percaya filmnya masuk nominasi, apalagi Oscar. Ia sempat mengacuhkan surat elektronik dari panitia yang mengabarkan film Brush with Danger masuk seleksi nominasi Oscar.
“Bayangkan sekitar 40 ribu film masuk seleksi penghargaan Piala Oscar dan film Brush with Danger bisa menyisihkan mereka untuk kategori Best Picture,”katanya saat ditemui di XXI Episentrum, Sabtu (21/11).
Film Brush with Danger selanjutnya masuk 300 besar dan bersaing dengan film-film Hollywood lainnya. Harapannya film ini bisa menginspirasi generasi muda di seluruh dunia.
Film ini sudah resmi masuk Indonesia sejak 26 November 2016.
Review:
Film ini memiliki sinematografi yang lumayan apik dengan sentuhan efek yang minim sehingga terkesan natural.
Aksi bela diri pun dibuat lebih natural karena kedua pemain telah mahir beladiri meski beladiri yang digunakan bukan wushu seperti kemahiran Livi dan Ken. Livi juga sempat menjadi juara Wushu.
Dengan cerita yang ringan dan aksi beladiri yang kurang ekstrem memicu film action thriller ini menjadi kurang menegangkan. Padahal bila memberi efek khusus dan tambahan cerita sejarah bangsa China yang menjadi imigran di AS mungkin bisa sedikit lebih apik. Apalagi bila dibumbui serangan invasi masyarakat China yang mulai menyerbu AS.
Tapi Livi tampaknya ingin menyajikan sajian film yang ringan, menghibur dan ingin memberi pesan kebaikan kepada penontonnya.
Segala sesuatu yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan tentu saja niat baik akan mendatangkan kebahagiaan, tak hanya bagi dirinya sendiri, tapi juga masyarakat sekitar. Itulah namanya harapan.