Kesuksesan berawal dari sebuah mimpi. Itulah yang dilakukan Samuel Bagas (Gentong), Omar Syarief, dan Hadi Wijayanto (Dito). Ketiga sahabat ini bermimpi ingin mengunjungi lokasi wisata Raja Ampat, Papua.
Namun biaya yang mahal untuk sampai ke sana mendorongnya memiliki sebuah usaha. Jika usaha untung, mereka akan menyisihkan untuk tabungan dan berangkat ke sana suatu saat nanti.
Ide membuat usaha bersama untuk ongkos ke Raja Ampat sebetulnya sudah ada sekitar setahun lalu. Namun, kesibukan membuat mereka sulit merealisasikannya dalam waktu dekat. Gentong sibuk dengan penelitian, Omar membantu usaha orangtua, dan Dito sibuk dengan kuliah tingkat akhirnya.
“Kami senang jalan-jalan dan ingin segera ke Raja Ampat. Tapi kami kekurangan dana. Akhirnya mencoba berjualan. Semoga kami bisa mengumpulkan uang untuk bisa ke sana,” kata Samuel yang akrab disapa Gentong.
Namun keinginan untuk berwirausaha itu tak selalu mulus. Tiga sekawan ini sempat bingung mencari ide usaha yang sesuai minatnya. Sempat terpikir membuat usaha jualan es kelapa. “Cuaca Jakarta yang panas pasti masyarakat butuh yang segar. Ini cocok, lagi pula bisnisnya gampang dilakukan,” katanya.
Tapi, kata Gentong, kesuksesan dan keberlangsungan sebuah usaha tidak bisa hanya didasarkan pada kemudahan menjalankan usaha. Bisnis akan berjalan mulus dan lama bila dipikirkan secara matang, terutama konsepnya.
“Kami senang kopi, masa berbisnis es kelapa. Makanya kami memilih sebuah usaha yang kami sukai dan kami bisa menjalankan itu, sambil dipikirkan konsep unik agar berbeda dengan kedai kopi lainnya,” katanya.
Mereka pun merealisasikan bisnis berjualan kopi demi mewujudkan impian pergi ke Raja Ampat, Papua. Keindahan pantai di ujung timur Indonesia ini menginspirasi mereka meracik kopi nikmat namun dengan harga murah. Mereka memulai usaha pada 17 Mei lalu dengan modal hanya Rp 500 ribu. Untuk tempat, listrik, dan air tidak perlu mengeluarkan biaya karena mereka menggunakan lokasi di depan galeri seni Ruang Rupa (Ruru) di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
Pemilihan lokasi ini bukannya tanpa perhitungan. Ketiganya pegiat seni dan sering kumpul di galeri tersebut. Selain itu, konsep awal kedai kopi tersebut untuk komunitas seniman di Ruru. Jadi, mereka tidak mematok harga mahal untuk kopi yang dijual.
Awalnya, kopi dijual secara sukarela. Namun karena terus merugi, kini mereka mematok secangkir kopi dengan harga Rp 13 ribu untuk segelas kopi hitam (black coffee) dan kopi susu yang disebut single original seharga Rp 15 ribu per gelas. “Biasanya untuk mendapatkan kopi yang enak harus membayar lebih dari Rp 30 ribu secangkir. Tapi kami menjualnya dengan harga hemat, sekalian masih promosi,” katanya.
Hingga beberapa minggu sejak mendirikan usaha, ketiganya tak langsung memberi nama pada usaha tersebut. Ia berpikir semua orang akan tahu kopi di mana saja rasanya sama. Namun karena desakan teman dan penikmat kopi, di samping untuk memudahkan menyebut nama, mereka pun mendapatkan nama unik, kopi paste.
“Sederhana, tapi gampang diingat. Meski sedikit meniru (sesuai arti copy paste), tapi kopi yang kami tawarkan rasanya berbeda. Bukankah kesuksesan itu bisa diraih dengan prinsip Amati, Tiru, dan Modifikasi (ATM). Itulah yang kami terapkan,” katanya.
Perselisihan Kuatkan Persahabatan
Usaha yang dijalankan lebih dari seorang biasanya memicu konflik. Jika tak mampu mengelola, usaha bisa bubar karena perbedaan prinsip di antara pemilik usaha.
Tiga sekawan ini selalu memegang komitmen susah senang ditanggung bersama, termasuk demi mewujudkan mimpi bisa pergi ke Raja Ampat, Papua bersama-sama. Hal krusial mengelola usaha ini adalah waktu bekerja. Pasalnya, ketiganya memiliki jadwal kesibukan masing-masing. Jam operasional Kopi Paste juga disesuaikan dengan jadwal aktivitas masing-masing, hanya dari jam 4 sore hingga 11 malam. Namun, biasanya pada hari Minggu mereka tutup kecuali Ruru ada acara pameran.
“Intinya jika ada perbedaan pendapat di antara kami, mimpi ke Raja Ampat menjadi penyatu dan peredam emosi,” kata Omar.
Omar mengakui jika ada keributan, ketiganya tidak pernah mencampuri urusan bisnis dengan urusan pribadi. Mereka berharap usaha ini semakin berkembang ke depan, khususnya dengan tambahan modal dari hasil penjualan. “Kopi Paste bisa punya peralatan lebih lengkap lagi,” katanya.
Dito yang paling muda di antara ketiganya mengaku tidak mengalami kendala dalam menjalankan bisnis Kopi Paste dan kuliah. Saat ini, mahasiswa jurusan Jurnalistik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) sudah memasuki masa kuliah tahun terakhir.
“Sekarang kuliah tidak terlalu sibuk. Biasanya selesai kuliah jam 5 sore dan langsung ke sini. Gentong dan Omar memahami jadwal kuliah saya,” ujarnya.
Ia juga berharap usaha ini dapat berkembang dan membuka cabang di tempat tinggalnya di Bogor, Jawa Barat. “Kopi Paste semoga bisa berkembang dan punya cabang di Bogor. Jadi di Bogor bisa saya dan Dito yang urus, yang di Tebet dipegang Gentong,” katanya.
Biodata Kopi Paste
Founder : Samuel Bagas (Gentong), Omar Syarief, Hadi Wijayanto
Alamat : Jalan Tebet Timur Dalam No.6 Tebet, Jakarta 12820 (Pelataran Galeri Ruang Rupa)
Twitter : @kopas_id