Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso mengatakan, petani di Indonesia hingga saat ini belum merasakan kesejahteraan. Pasalnya, petani di Indonesia sebenarnya hanyalah buruh yang tidak memiliki lahan pertanian sendiri.
“Kalau bicara soal petani, mereka itu mengharapkan penghidupan yang layak tentunya. Soal pendapatan, petani ingin punya lahan sendiri supaya tidak jadi buruh tani terus,” kata Sutarto.
Ia menilai hanya sedikit kalangan yang memedulikan sektor pertanian. Lembaga pendidikan yang menyediakan Fakultas Pertanian pun juga berkurang. “Sarjana pertanian setelah lulus bekerja untuk sektor non pertanian. Akhirnya kesejahteraan sektor pertanian kian terpuruk karena tidak ada yang mengurus,” katanya.
Mantan Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian ini mengatakan, petani tidak boleh kesulitan mendapat kebutuhan produksi seperti bibit, pupuk atau pun pestisida. Hal ini terkait rencana Menteri Pertanian Suswono yang ingin menghapus anggaran subsidi pupuk.
“Kalau subsidi pupuk dihapus, petani akan sulit mendapat bahan baku. Lain kali yang jadi menteri pertanian harus orang yang mengerti, kalau tidak ya begini jadinya,” kata dia.
Pemerintah juga perlu menangani mekanisme pascapanen agar hasil jual dapat menguntungkan petani. Jaminan harga yang baik juga perlu diberikan. Jika tidak, petani tak memiliki keseimbangan. “Jika semua ini bisa ditangani dengan baik, pertanian tidak akan sengsara,” katanya.
Ingin Hak Sama
Sekjen Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia Tedy Dirhamsyah mengatakan, petani berharap dapat memiliki lahan sendiri. Saat ini lahan pertanian pangan dikuasai swasta sehingga petani hanya menjadi buruh.
Ia menilai, kesejahteraan buruh petani bahkan jauh lebih rendah dibanding kesejahteraan buruh pabrik. Petani berharap mendapatkan hak yang sama dengan buruh pabrik atau melebihi itu.
“Petani harus punya hak sama dengan warga negara lainnya atau seperti pegawai negeri sipil (PNS) yang punya penghasilan standar. Sampai saat ini standar penghasilan petani belum ada,” katanya.
Menurut dia, petani sejak dulu hingga sekarang sangat dimarginalkan, sehingga petani tidak bisa menjaga lahannya dengan baik. Berbeda dengan Jepang, petani yang menelantarkan lahan akan didenda tinggi. Di Indonesia, lahan telantar diberikan pajak rendah dibanding lahan kepemilikan. “Indonesia itu sangat ironis dan jauh dari kedaulatan pangan, kondisinya saja seperti ini,” kata dia.
Direktur Studi Energi Lingkungan dan Maritim Center and Information Development Studies (CIDES) M Rudi Wahyono mengatakan, selama ini petani punya lahan pertanian tapi tidak mempunyai modal untuk mengolah.
“Berdasarkan hasil survei, ada perubahan sangat drastis. Sebanyak 52 juta keluarga petani meninggalkan lahannya. Kalau data itu diperpanjang lagi ada peralihan dari petani menjadi nonpetani,” katanya.
Guru Besar Institute Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menyayangkan pemimpin negara tidak memiliki kebijakan khusus terkait pertanian. Akibatnya kedaulatan pangan tidak pernah terwujud.
“Salah satunya soal rencana lahan sawah satu juta hektare di luar Jawa. Tapi petani tidak mendapat akses itu, justru konglomerat yang membeli dulu lahan tersebut untuk dimanfaatkan ke sektor lain,” katanya.
Sumber: Harian Nasional