Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, pendapatan dan status pernikahan menjadi penentu kebahagian masyarakat Indonesia. Selain itu, masyarakat perkotaan lebih mengetahui pemahaman keuangan sehingga lebih bahagia dan bijak dalam keputusan keuangannya.
Kepala BPS Suryamin mengatakan, kedua aspek ini menjadi penentu kebahagian masyarakat Indonesia. Ini merupakan hasil survei BPS untuk indeks kebahagiaan masyarakat Indonesia tahun lalu. “Indeks kebahagiaan tahun lalu mengalami peningkatan 3,17 poin dari 65,11 pada 2013 menjadi 68,28 pada 2014,” katanya di Jakarta, Kamis (5/2).
BPS mengukur tingkat kebahagiaan penduduk Indonesia melalui survei pengukuran tingkat kebahagiaan (SPTK) pada Juni-Juli 2014 dengan sampel 70.631 rumah tangga yang tersebar di seluruh provinsi atau meningkat dari 2013 sebanyak 10 ribu sampel. Responden adalah kepala rumah tangga atau pasangan rumah tangga.
Dalam melakukan survei, ada 10 indikator yang dijadikan patokan yaitu pekerjaan, pendapatan rumah tangga, kondisi rumah dan aset, pendidikan, kesehatan, keharmonisan keluarga, hubungan sosial, ketersediaan waktu luang, kondisi lingkungan, dan kondisi keamanan.
“Seluruh aspek mengalami peningkatan. Peningkatan tertinggi pada pendapatan rumah tangga 5,06 poin. Keharmonisan keluarga mengalami peningkatan paling rendah 0,78 poin,” katanya.
Hasil survei menunjukkan, penduduk di perkotaan relatif lebih bahagia daripada penduduk di pedesaan. Semakin tinggi rata-rata pendapatan rumah tangga, semakin tinggi pula indeks kebahagiaannya. “Kelompok umur paling bahagia ada di usia 25 sampai 40 tahun dan kelompok pendidikan ada di S2 atau S3,” katanya.
Indeks kebahagiaan yang belum menikah lebih tinggi sedikit ketimbang yang sudah menikah. Adapun berdasarkan anggota rumah tangga, indeks kebahagiaan tertinggi didapatkan dari keluarga yang memiliki empat orang anak.
“Provinsi dengan indeks kebahagiaan tertinggi adalah Riau, terendah di Papua,” ujarnya.
Perencana Keuangan Mitra Rencana Edukasi Mike Rini Sutikno mengatakan, masyarakat yang belum menikah tidak terlalu terbebani kebutuhan hidup seperti masyarakat yang sudah berkeluarga. Hal ini yang mendorong kelompok ini lebih bahagia.
Terkait pendapatan dan demografi perkotaan, Mike menilai masyarakat perkotaan lebih mudah mengakses instrumen keuangan maupun investasi. “Jika masyarakat perkotaan tidak berinvestasi, setidaknya literasi keuangan mereka lebih baik sehingga lebih bijak mengambil keputusan keuangan,” katanya.
Ia menilai, berdasarkan teori kebutuhan Abraham Maslow, masyarakat pedesaan dapat memenuhi kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan, dan papan dengan lebih murah. Pada masyarakat perkotaan, terdapat kebutuhan di puncak piramida, yaitu aktualisasi diri. “Aktualisasi diri dilakukan masyarakat perkotaan sehingga menjadi pendorong mereka lebih bahagia,” katanya.