“Manusia tidak hidup sendirian di bumi ini…
tapi di jalan setapaknya masing-masing..
semua jalan setapak itu berbeda-beda…
namun menuju ke arah yang sama..
mencari satu hal yang sama…
dengan tujuan yang sama….
yaitu TUHAN”
Begitulah cuplikan prolog dalam thriller film “?” karya Hanung Bramantyo. Sekilas memang akan meneduhkan suasana dan membenarkan bahwa semua agama muaranya sama yaitu beribadah kepada Tuhan.
Lantas, apakah konsep yang dimaknai masing-masing agama itu sudah benar hingga saat ini? Mengapa Hanung memakai nama “Tuhan”, bukan “Allah” atau “Yesus”?
Saya mengutip hasil studi Qosim Nursheha Dzulhadi, alumnus Al-Azhar University (Cairo-Egypt) jurusan Tafsir & ‘Ulumu’l-Qur’an. Beliau mengutip pernyataan Dr. Jerald F. Dirk dalam bukunya “Salib di Bulan Sabit” (Serambi, 2006), Mantan diaken di ‘Gereja Metodis Bersatu’ ini mencatat bahwa “penggunaan kata Allah sering kali terdengar aneh, esoterik, dan asing bagi telinga orang Barat yang notabene mayoritas non muslim apalagi bagi orang Islam sendiri yang berpengetahuan dangkal.
Padahal Allah adalah kata dalam bahasa Arab yang berasal dari pemadatan al dan Ilah. Ia berarti Tuhan atau menyiratkan Satu Tuhan. Secara linguistik, bahasa Ibrani dan bahasa Arab terkait dengan bahasa-bahasa semitik, dan istilah Arab Allah atau al-Ilah terkait dengan El dalam bahasa Ibrani, yang berarti “Tuhan”.
El-Elohim berarti Tuhannya para tuhan atau sang Tuhan. Ia adalah kata Ibrani yang dalam Perjanjian Lama diterjemahkan Tuhan. Karena itu, menurutnya, kita bisa memahami bahwa penggunaan kata Allah adalah konsisten, bukan hanya dengan al-Qur’an dan tradisi Islam, tetapi juga dengan tradisi-tradisi biblikal tertua.
Tapi dalam kacamata Islam, terutama pembahasan ilmu Tauhid menjelaskan “Laa ilaaha illa Allah” (Tidak ada seorang tuhanpun yang berhak “diibadahi” secara benar (mutlak), kecuali hanya Allah saja.
Ini tentu berbeda dengan kata El dalam bahasa Ibrani, yang kemudian bisa menjadi El-Elohim, yang diartikan sebagai “Tuhannya para tuhan”. Berarti ada tuhan selain tuhan yang disebut El-Elohim itu.
Sementara dalam Islam, Allah atau Ilah hanya satu. Apalagi jika ditelusuri konsep Tuhan dalam agama Yahudi, yang banyak menyiratkan bahwa “Tuhan” Yahudi adalah ‘Tuhan nasionalistik’, atau private God bagi Yahudi. Di luar Yahudi Tuhannya berbeda.
Di agama Kristen, konsep Tuhan juga berbeda karena masih menganut konsep Trinitas yang sampai saat ini masih menjadi teka teki yang tidak berujung (Bapa, Tuhan dan Roh Kudus).
Bapa adalah Allah, Anak adalah Allah dan Roh Kudus adalah Allah. Satu esensi tetapi tiga oknum. Dan oknum-oknum itu bersatu, tidak terpisah, namun berbeda antara satu dengan lainnya – bersatu dalam ketuhanan (al-lahut) dan dalam sifat-sifat ilahiyah, tetapi berbeda dalam pekerjaan mereka. (Lihat, Nasyid Hana, Khamsu Haqâ’iq ‘an Allah, cet. II, 1999: 25-26).
Satu dalam sifat-sifat Ilahiyyah, tetapi berbeda dalam pekerjaan atau tugas adalah konsep yang “membingungkan”. Inilah yang masih diperdebatkan oleh kalangan kaum kristen.
Padahal dalam Islam sendiri sudah jelas. Informasi tentang asal-usul kepercayaan terhadap Tuhan antara lain tertera dalam QS. Al-Anbiya ayat 92.
Ayat tersebut diatas memberi petunjuk kepada manusia bahwa seharusnya tidak ada perbedaan konsep tentang ajaran ketuhanan sejak zaman dahulu hingga sekarang. Melalui rasul-rasul-Nya, Allah memperkenalkan dirinya melalui ajaran-Nya, yang dibawa para rasul, Adam sebagai rasul pertama dan Muhammad sebagai terakhir.
Sesungguhnya agama yang diturunkan Allah adalah satu, yaitu agama Tauhid. Oleh karena itu seharusnya manusia menganut satu agama, tetapi mereka telah berpecah belah.
Jika terjadi perbedaan-perbedaan ajaran tentang ketuhanan di antara agama-agama adalah karena perbuatan manusia. Ajaran yang tidak sama dengan konsep ajaran aslinya, merupakan manipulasi dan kebohongan manusia yang teramat besar.
Kemudian dalam QS. Al-Maidah ayat 72 dijelaskan Al-Masih berkata: “Hai Bani Israil sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti mengharamkan kepadanya surga, dan tempat mereka adalah neraka.
Dan QS. Al-Ikhlas ayat 1-4 yang menyatakan “Katakanlah, Dia-lah: Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung pada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”
Dari ungkapan ayat-ayat tersebut, jelas bahwa Tuhan adalah Allah. Tuhan yang haq dalam konsep Al-Qur’an adalah Allah. Hal ini dinyatakan antara lain dalam surat Ali Imran ayat 62, surat Shad ayat 35 dan 65, surat Muhammad ayat 19.
Dalam Al-Qur’an diberitahukan pula bahwa ajaran tentang Tuhan diberikan kepada para nabi sebelum Muhammad adalah Tuhan Allah juga.
Dengan mengemukakan alasan-alasan tersebut di atas, maka menurut informasi Al-Qur’an, sebutan yang benar bagi Tuhan yang benar-benar Tuhan adalah sebutan “Allah”, dan kemahaesaan Allah tidak melalui teori evolusi melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah. Hal ini berarti konsep tauhid telah ada sejak datangnya Nabi Adam di muka bumi. Esa menurut Al-Qur’an adalah esa yang sebenar-benarnya esa, yang tidak berasal dari bagian-bagian dan tidak pula dapat dibagi menjadi bagian-bagian.
Jadi, ide besar yang diusung Hanung ini memang sangat berani, menawarkan ide pluralisme yang selama ini diusung oleh tokoh-tokoh sebelumnya.
Padahal “Agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam” (QS. Al Imran: 19). “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Al Imran: 85)
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS. Al-Mujadalah: 22)
Perbedaan memang suatu rahmat. Namun film yang berjudul “?” ini akan menyisakan tanda tanya besar. Siapa yang mendorong film ini keluar? siapa tokoh besar yang ada di belakangnya? Itu akan menjadi “?”
Nusron Wahid, anggota komisi XI DPR RI sekaligus Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Anshor yang membawahi Banser ini bilang film “?” ini memang mengusung tema bagus dan berani yaitu mengusung kebhinekaan. Ide ini tidak ada yang berani mengambil setelah Gus Dur selaku bapak pluralisme wafat.
Dalam sebuah diskusi kecil dengan teman-teman saya, ada yang menyeletuk,”Saya kok jadi takut. Jangan-jangan ini film proyek ya?”
Maklum Hanung sukses menyutradarai “Ayat-Ayat Cinta” yang mengusung poligami dan banyak didukung oleh barisan simpatisan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Lantas film “Sang Pencerah” yang mengusung nama besar KH Ahmad Dahlan sebagai sosok yang divisualisasikan dan tentu saja menguntungkan kelompok Muhammadiyah atau basis kaum Partai Amanat Nasional (PAN).
Kali ini, film “?” mengusung kebhinekaan dan pluralisme. Sesuatu yang didengungkan oleh kelompok Gus Dur atau basis massa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) atau bahkan Jaringan Islam Liberal (JIL).
Ah, semoga lelucon temanku itu salah.