Catatan Road to Aceh, 14-15 Oktober 2008 bersama PT Samsung Electronics Indonesia (SEIN)
Empat tahun sudah Aceh diporak-porandakan oleh gelombang tsunami. Kini, penduduk sudah mulai menggeliat menghidupkan gaung perekonomian dan memerbaiki infrastrukturnya. Sejenak, kita melongok jejak-jejak tsunami di Bumi Nangroe Aceh Darussalam.
(Bandara Sultan Iskandar Muda di Blang Bintang Banda Aceh didanai oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias menelan dana Rp450 miliar dan ditargetkan rampung Desember ini).
Karena letaknya di daerah pesisir, Aceh banyak menawarkan pemandangan begitu menawan. Di dalam perjalanan dari Bandara Sultan Iskandar Muda Blang Bintang menuju ke kota, masih banyak ditemukan puing-puing rumah, tanah kosong, renovasi hingga rumah dengan arsitektur baru. Masyarakatnya pun lebih religius, masjid bertebaran di kanan kiri jalan. Dan yang lebih mencengangkan, nyaris semua wanita di sepanjang jalan menggunakan penutup kepala (kerudung atau jilbab). Kecuali bagi nonmuslim, yang sangat kentara berwajah oriental, bermata sipit atau berkulit putih.
Banyak yang mengatakan karakter masyarakat Aceh cenderung pemberani dan keras. Ada juga perangai pemalas yang notabene selalu ditemukan pada kedai kopi di pinggir jalan. Memang masyarakat Aceh sangat suka duduk sambil minum kopi sembari ngobrol lepas. Mulai tema sehari-hari hingga politik kelas kakap.
Di luar itu, Aceh yang mayoritas dihuni oleh masyarakat muslim selalu menyuguhkan keramahtamahan pada setiap tamu yang datang ke daerahnya. Kesan itu mulai terlihat dari pintu keluar bandara hingga setiap pintu rumah di pinggir jalannya. Mereka menawarkan bantuan mulai dari ojek, suguhan kopi atau souvenir yang bisa dibawa pulang. Suguhan itu sungguh menjadi penawar lelah saat kita harus terbang mulai dari Jakarta hingga Aceh yang biasa ditempuh selama empat hingga lima jam. Maklum saja, tidak banyak maskapai penerbangan memunyai rute langsung Jakarta – Aceh, tapi harus transit terlebih dahulu di kota Medan.
Menyusuri Banda Aceh tidak lengkap rasanya bila tidak mengunjungi jejak-jejak peninggalan pascatsunami 26 Desember empat tahun silam. Bencana yang memorakporandakan sebagian besar wilayah Aceh itu memang membuat banyak infrastruktur telah hilang. Sebagian telah direnovasi dan sebagian lainnya dibiarkan begitu saja. Terutama bekas-bekas peninggalan tsunami, justru dibiarkan dan akan dikembangkan khusus sebagai wisata tsunami. Hal itu membuat lanskap baru bagi tata kota Aceh yang lebih asri dan lebih ramah lingkungan.
“Banda Aceh sedang kita kembangkan sebagai kota metropolitan berakseskan
teknologi (Aceh Cyber City). Tahun depan, khusus untuk wilayah Aceh semoga sudah
terlayani hotspot dan masyarakat bisa mengakses informasi secara positif dan
benar,” terang Walikota Banda Aceh Mawardi Nurdin.
Salah satunya adalah Kapal PLTD Apung milik PLN NAD di Kelurahan Punge Blang Cut Kecamatan Jayabaru Banda Aceh.
“Kapal itu terdampar dari pantai Ulee Lheue ke daratan sejauh kurang lebih tujuh km dari laut pada saat kejadian gempa 9.3 SR dan gelombang tsunami setinggi 30 meter (minimal setinggi pohon kelapa),” kenang Darlin Darwis, pemandu wisata dari DD Rental asli Banda Aceh saat mengantar SINDO yang kebetulan selamat dari tsunami itu.
Kapal berbobot 4.500 tondan panjang 63 meter tersebut menjadi saksi bisu kedahsyatan tsunami dan sampai sekarang masih ramai dikunjungi pendatang, baik masyarakat setempat, wisatawan bahkan pejabat penting negara bahkan internasional. Tercatat, Sekretaris Jendral PBB Kofi Anan dan mantan Presiden Amerika Serikat Georges Bush dan Bill Clinton langsung datang menyaksikan keberadaan kapal tersebut pascatsunami.
Tidak jauh dari kapal tersebut (sekitar 10 meter) dibangun Taman Edukasi Tsunami. Taman tersebut dibangun untuk membantu masyarakat dalam mengobati trauma, penyadaran dan pendidikan tentang ancaman bencana maha dahsyat tersebut.
Taman Edukasi Tsunami ini berada di area seluas 4.500 meter persegi dan merupakan prakarsa dari PT BMW Indonesia untuk generasi muda dan masyarakat Aceh. Taman yang merupakan Taman edukasi pertama di Indonesia ini menjadi bagian dari situs peringatan tsunami seluas 45 ribu meter persegi yang telah disediakan oleh pemerintah daerah.
Di dalamnya terdapat sebuah simulator tsunami yang akan mendemontrasikan tahapan terjadinya tsunami. Alat simulasi ini dapat memperlihatkan urutan terjadinya tsunami yang dimulai dengan patahan lempengan dasar samudera yang menimbulkan getaran gempa, hingga terjadinya gelombang besar tsunami yang menyapu daratan. Selain itu, Taman Edukasi Tsunami juga menyediakan informasi mengenai peristiwa tsunami pada 2004 dilengkapi dengan fasilitas rekreasi, termasuk taman bermain, teater terbuka, fasilitas publik, dan area duduk untuk para pengunjung.
Perjalanan berlanjut ke kuburan massal di kawasan Ulee Lhue Kota Banda Aceh yang tidak jauh dari pantainya. Kuburan yang dinamakan Taman Makam Syuhada Korban Tsunami 2004 itu berada di bawah pengawasan Subdin Pengawasan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Banda Aceh. Dihias pagar berwarna hijau mengelilingi kuburan, di dalamnya persis seperti lapangan bola dan tak tampak angker, karena tidak ada satu nisanpun di sana. Hanya sebuah papan peringatan untuk tidak menginjak area kuburan dan beberapa batu besar sebagai hiasan. Disediakan jalan khusus yang membelah kuburan untuk menuju area belakang dan di sinilah biasanya peziarah duduk bersimpuh menghantarkan doa kepada sanak saudaranya yang telah meninggal. Di sepanjang jalan, masih tampak bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berkibar.
Tidak jauh dari kuburan itu, ada pelabuhan Feri Ulee Lheue yang bisa membawa pengunjung ke Sabang, Calang dan Meulaboh hanya dalam tempo 45 menit. Karena cuaca sedang tidak bersahabat, banyak kapal yang bersandar di pelabuhan yang telah dibangun sejak tahun 1992 tersebut. Pelabuhan yang juga hancur total ini sedang dibangun kembali sejak tahun 2005 atas bantuan United Nation Development Program (UNDP) dan AusAID.
Di samping kanan turut dibangun tanggul pelindung sepanjang 1.4 km, konstruksi tanggul penahan dan terminal feri sementara. Di sini sepanjang mata memandang akan ditemukan laut lepas dan bukit-bukit. Beberapa nelayan (pekerjaan dasar masyarakat Aceh) juga bisa disaksikan melalui perahu kayuh dan perahu motor.
Kembali ke kota, tidak lengkap rasanya bila tidak ke Masjid Raya Baiturrahman. Masjid yang sudah ada sejak tahun 1873 ini pernah dibakar habis oleh Belanda pada masa penjajahan dulu. Kemudian Belanda pula yang membangunnya kembali di tahun 1875 dan selesai 1883. Pada 1935, diperluas dengan dua kubah tambahan, dan akhirnya lima kubah antara 1959-1968. Ketika Tsunami, masjid ini tidak mengalami kerusakan yang berarti. Di tempat ini banyak jenazah yang dibaringkan dan para keluarga korban mencari jenazah keluarganya di sini.
(Agak malu-malu dikit, maklum di tengah banyak orang. Takut kena razia cuma foto bareng berdua).
Salah satu tempat yang tidak boleh dilewatkan adalah Bioskop (Theater) Garuda. Meski terlanda tsunami dan berhenti beroperasi, bangunan yang berada di belakang kediaman Walikota Banda Aceh dan lapangan Blang Padang tersebut tetap berdiri dengan kesan compang-camping, kusam dan sepi.
Sekitar tahun 1930-an ada dua bioskop di kota yang dulu bernama Deli Bioscope dan Rex Bioscope. Film-film yang diputar di situ adalah film-film bisu dan hitam-putih. Deli Bioscope menjadi cikal-bakal Garuda Theatre, sedang Rex sekarang menjelma menjadi tempat makan terbuka di Peunayong. Gerobak sate padang, nasi goreng, nasi bistik, gulai kambing, berderet-deret di tanah lapang bekas Rex.
Di tempat inilah (Garuda Theater) pada 16 Juni 1948, Presiden Soekarno berpidato politik dalam rapat umum pemuda. Di hadapan ribuan rakyat Aceh, Soekarno menempa semangat pemuda dengan mengenang sejarah perjuangan rakyat Aceh dalam memertahankan wilayahnya sebagai kesatuan wilayah Indonesia yang tak tertaklukkan Belanda. Dua hari kemudian, di Bireuen Soekarno menjuluki Aceh sebagai “Daerah Modal”.
Namun sebentar lagi, bangunan yang tersisa hanya tiang dan atap ini akan segera dirobohkan dan akan dibangun Information Teknologi Learning Center (ITLC). Bangunan ini mendapat sumbangan dari PT Samsung Electronics Indonesia (SEIN) senilai US$ 369.565 atau Rp3,4 miliar melalui Program ‘For Aceh’. Nantinya, ITLC akan menjadi tempat edukasi, pelatihan bahasa, komputer, perpustakaan atau segala sesuatu tentang teknologi bagi masyarakat Aceh. Tidak hanya itu, siswa yang berprestasi pun akan mendapat pengalaman pelatihan bahkan rekrutmen karyawan Samsung di Jakarta dan Korea.
“Begitu banyak kerusakan yang harus dibangun kembali akibat tsunami. Masyarakat
Aceh pun tidak boleh terus bersedih. Oleh karena itu, ITLC akan memberikan
prasarana dan ilmu untuk merawatnya. Dengan ini Aceh akan setahap lebih maju,”
ujar Managing Director PT Samsung Electronic Indonesia (SEIN) Hee Hong Park.(Kapal ini adalah salah satu dari dari kapal-kapal yang terdampar kedaratan pada saat terjadi bencana Tsunami beberapa waktu lalu. Hingga saat ini keberadaan kapal ini tetap dipertahankan sebagai obyek wisata untuk mengingat akan peristiwa tersebut, dan dijadikan salah satu situs Peringatan Tsunami di Kampung Lampulo, Kec.Kuta Alam. Kota Banda Aceh. Lokasi bisa ditempuh menggunakan kendaraan umum seperti becak motor ataupun taksi).
(Asmirandah pun harus memakai kerudung di Aceh. Begitu pula iklan XL yang memakai brand ambassador Luna Maya. Sayang ga sempat motret, maklum hujan deras dan balihonya di tengah jalan. Jadi susah untuk motret artis dari Bali itu. Di sini diterapkan syariat Islam yang mewajibkan perempuan muslim harus memakai kerudung atau jilbab saat ke luar rumah).
(Pose ama orang Aceh nih. Itu tuh yang pake busana adat. Di situ ada Salma Investor Daily, Kartika Koran Tempo, Elen Sinar Harapan dan Roni Bisnis Indonesia. Lainnya adalah Pak Taufiq Republika dan Mang Ujang dari Antara).
Sepertinya, waktu satu hari untuk berkeliling Aceh tidaklah cukup. Masih banyak obyek wisata tsunami lainnya yang belum dikunjungi. Aku juga ga sempat beli oleh-oleh. Cuma makanan ringan, kopi Aceh dan gantungan kunci yang aku beli di Medan. Kini, saatnya Anda menabung atau memilih backpacker ke sana. Sampo Meurempok Lom Ie Aceh atau Sampai Jumpa di Aceh.