Rencana pembelian kembali saham (buyback) perusahaan penyedia layanan komunikasi PT Indosat Tbk (ISAT) oleh calon presiden (capres) Joko Widodo (Jokowi) menuai hasil positif bagi saham Indosat. Saham ISAT pada perdagangan Senin (23/6) naik 2,43 persen menjadi Rp 3.800 per lembar saham.
Namun apa yang melatarbelakangi divestasi Indosat sampai pemerintahan kini berjuang untuk buyback saham Indosat?
Mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Heru Sutadi mengatakan, divestasi Indosat harus dipahami dalam konteks Indonesia dalam krisis multidimensi yang terjadi sejak 1998, bahkan sejak Juli 1997.
Saat itu, era pemerintahan Megawati pada 23 Juli 2001-20 Oktober 2004 menjual Indosat pada 2002. APBN 2002 membebankan pemasukan dari Kementerian BUMN Rp 6,5 triliun. Divestasi Indosat menyumbang Rp 6,72 triliun bagi APBN.
“Indosat menyumbang 82,5 persen dari pemasukan BUMN dari total privatisasi yang mencapai Rp 8,145 triliun,” kata Heru.
Megawati saat itu menjual 41,94 persen atau mencapai 434,25 juta seri B saham pemerintah di Indosat ke Singapore Technologies Telemedia (STT), anak Temasek.
“Dengan STT masuk, Singapore juga memiliki 35 persen saham di Telkomsel,” katanya.
Salah satu alasan penjualan Indosat, kata Heru yaitu pendapatan Indosat sedang menurun terutama Sambungan Langsung Internasional (SLI). Pada 1999 pendapatan SLI mencapai Rp 2,315 triliun. Namun pada 2000 turun menjadi Rp 2,184 triliun dan 2001 stagnan sebesar Rp 2,193 triliun.
“Posisi Indosat kian terjepit karena pengakhiran hak eksklusivitas SLI dengan terminasi dini SLI sesuai kesepakatan 28 Juli 2000,” katanya.
Dengan terminasi dini, Telkom berhak menyelenggarakan SLI dan Indosat hanya menyelenggarakan SLJJ dan telepon tetap sesuai jadwal waktunya. Otomatis, pendapatan SLI Indosat anjlok.
“Meski tersisa 14,96 persen, pemerintah dalam Sales Purchase Agreement (SPA) memiliki hak veto yang dapat mengontrol Indosat dengan golden share,” katanya.
Hak tersebut adalah memveto rencana likuidasi perusahaan, perubahan bidang usaha, private placement dan akuisisi yang bersifat material. Ia juga menyebut, saat melepas saham Indosat pada 2002, pemerintah juga masih memunyai jatah dua kursi direktur dan dua komisaris.
Heru menyebut sejak 1998, banyak investor asing hengkang dari Indonesia karena ekonomi politik yang tidak stabil. “Hadirnya investor asing saat itu memang diharapkan,” katanya.
Meski ada 145 tokoh yang mengajukan class action terhadap divestasi Indosat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Mahkamah Agung pun menolak gugatan divestasi. Alasannya, pemohon dinilai tidak mewakili kepentingan umum.
Dalam perjalanannya, STT kemudian menjual saham Indosat ke Qatar Telecom (kini bernama Ooredoo). Ini menjadi bagian dari keputusan KPPU akan adanya kepemilikan silang Temasek di Telkomsel dan Indosat.
“Kini pemegang saham Indosat yaitu OOredoo (65 persen), pemerintah (14,29 persen), Skagen AS (5,42 persen), dan publik (15,29 persen).