Jakarta salah satu kota tersibuk di Indonesia bahkan Asia. Namun, predikat kota tersibuk itu diperparah dengan kualitas udara yang makin memburuk setiap tahun.
Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, indikator kualitas udara bersih jika partikel debu maksimal 60 mikrogram per meter kubik. Kondisi udara di Jakarta sejak 2012 jauh melampaui ambang batas hingga mencapai 150 mikrogram per meter kubik.
Menurut pantauan kualitas udara yang dilakukan Greenpeace sejak Januari 2017, kualitas udara di Jabodetabek terindikasi memasuki level tidak sehat (unhealthy). Kondisi ini bisa menimbulkan dampak kesehatan yang serius bagi kelompok sensitif, seperti anak-anak, ibu hamil, dan kelompok lanjut usia.
Berdasarkan pantauan situs Air Now dan AQICN hingga Juli 2018, kondisi udara Jakarta masih dalam kategori tidak sehat (unhealthy). Indeks Kualitas Udara (Air Quality Index) Jakarta menyentuh angka 191.
Angka ini lebih buruk dari Beijing dan New Delhi yang terkenal sebagai kota dengan tingkat polusi paling tinggi di dunia. Jika dibandingkan dengan kota-kota besar di Asia Tenggara, kualitas udara Jakarta lebih jelek dari Ho Chi Minh City, Hanoi, Bangkok, Kuala Lumpur, dan Singapura.
Kok bisa separah itu kondisi udara Jakarta? Penyumbang polusi atau penyebab kualitas udara buruk di Jakarta salah satunya kendaraan bermotor. Jumlah kendaraan bermotor, baik roda dua atau roda empat atau lebih saat ini mencapai 8 juta unit. Bila siang hari mencapai 13 juta unit karena kendaraan dari luar Jakarta, seperti dari Bogor, Bekasi, dan Tangerang yang beraktivitas atau bekerja di Jakarta.
Kesibukan ibu kota negara ini pun bertambah ketika Asian Games 2018 berlangsung. Ribuan atlet berdatangan dari hampir seluruh negara di Asia untuk berlaga membela negara masing-masing. Indonesia terbukti sukses sebagai tuan rumah perhelatan olahraga terbesar di Asia ini. Infrastruktur dibenahi, sungai-sungai dibersihkan, hingga dilakukan pengaturan lalu-lintas agar infrastruktur dan kualitas lingkungan mendukung pelaksanaan kegiatan. Lingkungan yang baik dan udara yang bersih menjadi salah satu indikator yang mempengaruhi performa atlet.
Secara umum, lingkungan yang baik akan menghasilkan manusia yang baik begitupun sebaliknya. Lingkungan yang buruk akan menyebabkan kita mudah terkena penyakit dan berdampak penurunan kualitas produktivitas kita.
Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), transportasi menyumbang tingkat polusi hingga 90 persen melalui emisi gas buang karbonmonoksida dan karbondioksida. Gas ini hasil pembakaran tidak sempurna oleh mesin kendaraan bermotor. Jika gas ini terhirup, akan ikut beredar pada darah manusia sehingga akan mengakibatkan kepala menjadi pusing dan bahkan bisa menyebabkan gangguan saraf. Bahaya? Sangat!
Nah, transportasi sangat berdampak pada lingkungan dan kesehatan. Sekarang ini menjadi masalah sangat penting untuk segera dicari solusinya. Jika terus dibiarkan berlanjut akan sangat berbahaya bagi masyarakat yang hidup di Jakarta.
Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengeluarkan beberapa kebijakan terkait transportasi. Selain pembenahan dan penambahan angkutan umum yang dekat dengan permukiman sejak Juli 2018, skema ganjil-genap diberlakukan dengan cakupan wilayah lebih luas dan durasi lebih lama sejalan dengan Asian Games. Bahkan di hari Sabtu dan Minggu, kebijakan ini tetap diberlakukan. Alhasil, skema ganjil-genap versi terbaru ini mendapat tanggapan pro dan kontra dari masyarakat.
Kepala BPTJ Bapak Bambang Prihartono mengatakan, sistem ini akan memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat yang beraktivitas di Jakarta, terlepas dari tanggapan warga. “Kita ganti udara Jakarta dengan yang lebih sehat dan waktu tempuh lebih cepat sehingga tidak boros waktu,” katanya.
Selain itu, tidak hanya perubahan kecepatan waktu tempuh, tapi bagaimana karbondioksida yang mencemari udara dapat diubah. “Udara yang sudah tidak sehat kita perbaiki kualitas udaranya.”
Kebijakan itu ternyata membuahkan hasil. Berdasarkan data AQICN.org pada akhir Agustus 2018, Indeks Kualitas Udara (Air Quality Index) menyentuh angka 64, berkurang 127 poin dari data Juli sekitar 191 poin (sebelum perluasan ganjil-genap diberlakukan).
Angka ini masuk kategori moderate yang menunjukkan kualitas udara dapat diterima. Namun, masih ada beberapa polutan yang tetap memiliki potensi menyebabkan penyakit pada sejumlah kecil orang yang sangat sensitif terhadap polusi udara.
Belum lama ini BPTJ juga merilis infografis terkait kondisi udara Jakarta dengan pemberlakuan ganjil-genap. Hebatnya, setelah enam minggu implementasi perluasan kawasan skema ganjil-genap di jalan arteri Jakarta, pada ruas jalan yang diberlakukan ganjil-genap mengalami penurunan emisi karbondioksida rata-rata 20,30 persen.
Nah, luar biasa kan dampak skema ganjil-genap? Kualitas udara yang baik mendorong kita lebih sehat dan produktif. Kita pasti berharap kualitas udara makin baik dengan meningkatkan kesadaran masyarakat agar perlahan beralih ke moda transportasi umum.
Dulu, London pernah menjadi salah satu kota padat transportasi dan memiliki kualitas udara yang buruk. Mirip dengan Jakarta saat ini. Namun, London sekarang menjadi kota yang sangat teratur dan kualitas udaranya baik. Kok bisa???
Sederhana solusinya. Masyarakatnya mengubah moda transportasi pribadi menjadi pencinta transportasi umum. Jalan lebih lengang, emisi karbonmonoksida dan karbondioksida pun berkurang.
Tentu kita menginginkan hal yang sama dapat kita nikmati di Jakarta, bukan? Dengan kondisi transportasi umum yang terus ditingkatkan oleh pemerintah, seharusnya niat kita untuk kebaikan bersama pun makin kuat. Lebih banyak yang naik transportasi umum. Kualitas udara akan bagus, produktivitas pun meningkat.
Ayo naik transportasi umum untuk menciptakan Jakarta sehat, Jakarta hebat.
Salam bebas polusi.