FB IMG 1428840894937 2 copy

FB_IMG_1428840615771 (2)

Tidak sedikit sebuah usaha yang bermula hanya dari sebuah keisengan. Namun saat ditekuni, usaha tersebut tumbuh berkembang menjadi usaha menjanjikan.

Itulah yang dilakoni Engkos yang hanya memanfaatkan koran bekas menjadi kerajinan yang memiliki nilai rupiah tinggi. Ia lantas membentuk usaha Salam Rancage. Salam berarti Sekolah Alam dan Rancage yang artinya terampil dalam Bahasa Sunda.

Ia mencoba mengolah koran bekas yang dianyam menjadi berbagai bentuk kerajinan seperti gantungan kunci, tempat pensil, tempat payung, tikar, tempat duduk, dan masih banyak lagi. “Awalnya hanya iseng-iseng. Namun saat saya tekuni ternyata bisnis ini menghasilkan,” katanya.

Ia mengenang saat kesusahan mencari kerja karena hanya tamat Sekolah Menengah Atas (SMA). Ia berusaha melamar pekerjaan namun susah mencari pekerjaan yang layak.

Saat itu, ia melihat tumpukan koran bekas yang biasanya hanya digunakan pembungkus makanan atau diolah kembali menjadi berbagai bentuk kerajinan lainnya. Agar berbeda, ia mencoba menganyam koran bekas tersebut sama seperti menganyam memakai rotan.

“Koran bekas kalau dijual kan murah. Paling tinggi harganya Rp 2 ribu per kg,” kata lelaki penghobi tenis meja ini.

Ia memulai usaha sejak 2011. Namun sejak 2010, ia sudah mendirikan bank sampah. Ia pun menerima sampah koran bekas dari lingkungan tempat tinggalnya. “Dari situ kita coba buat-buat kerajinan koran. Terus semakin bertumbuh,” ujarnya.

Untuk membuatnya, ia hanya membutuhkan lem dan pewarna. Namun ia mengakui hal yang paling mahal adalah ide membuatnya. Untuk modal awalnya sekitar Rp 3 juta untuk membeli pewarna, lem, dan koran. “Kita menggunakan pelitur kayu (pewarna) yang aman, walaupun hanya buat tempat buah-buahan,” ujarnya.

Untuk mengenalkan buah tangannya ke masyarakat, Engkos mengikuti pameran-pameran di sekitaran Bogor hingga di Jakarta. Dari pameran itu, antusiasme datang dari berbagai pihak. “Kita ikut Inacraf pertama pada 2013 . Hasilnya cukup memuaskan, kita masuk dalam 10 nominasi kerajinan unggulan,” katanya.

Setelah mengikuti pameran, pesanan demi pesanan datang. Misalnya dari Kementerian Pekerjaan Umum berupa pesanan 2.500 topi dari koran bekas. “Mungkin orang lain tidak mengira topi itu terbuat dari koran bekas. Itu untuk Jambore Sanitasi di Ancol,” katanya.

Untuk memproduksinya, ia melibatkan masyarakat sekitar sehingga tidak kewalahan menghadapi pesanan dalam jumlah besar. Untuk harga, ia menjual sekitar Rp 5.000 hingga jutaan rupiah. Misalnya gantungan kunci Rp 5.000, tempat tisu Rp 40 ribu, tempat pensil Rp 10 ribu, payung Rp 150 ribu. “Kita ada 150 jenis kerajinan dari anyaman koran bekas ini,” ujarnya.

Untuk pembelinya banyak juga yang datang dari luar kota, bahkan luar Jawa. “Pernah ada pesanan dari Lampung untuk suvenir pernikahan 1.500 biji. Ada juga dari Kalimantan, Bali, dan masih banyak lagi,” ujarnya. Ia juga tidak menyangka dari hasil ikut pameran sempat ada pesanan dari Italia dan Jepang. “Ini berkah.”

Berbekal ketekunan tersebut, usaha anyaman koran bekas ini mampu menghasilkan omzet sekitar Rp 15-20 juta per bulan.

DSC_0280 (2)

Memberdayakan Masyarakat Sekitar

Ia tidak menyangka usaha yang didirikan dari lulusan SMA bisa membantu perekonomian masyarakat sekitarnya. Secara perlahan Engkos mengumpulkan tetangga sekitarnya untuk membantu menganyam kerajinan yang dibuat sesuai pesanan.

Hingga kini ia mengumpulkan sekitar 60 pekerja pembantu dan kesemuanya merupakan tetangga sekitar. “Ada sekitar lima Rukun Warga (RW) yang kami berdayakan membuat kerajinan ini, termasuk pengadaan bank sampahnya,” ujarnya.

Ia menganggap, usaha ini tidak semata mengejar keuntungan karena sebenarnya bisa mengurangi sampah koran bekas yang setiap hari menumpuk. Meski koran merupakan sampah organik dan bisa didaur ulang, ia menilai sampah tersebut bisa dijadikan sesuatu yang dapat menambah penghasilan keluarga.

Untuk bank sampah masih diurus dua orang. Namun pemberdayaan warga, di masing-masing RW sudah ada koordinatornya. Dari tiap koordinator sudah ada catatan administrasinya. Tugas dari pengelola bank sampah lebih ringan yaitu mengontrol dan mengangkut sampah-sampah yang terkumpul dari masyarakat.

“Jadi sekarang kita sudah agak mudah. Tinggal ngasih uangnya ke warga, dibayar sesuai jumlah produksinya melalui koordinator-koordinator di RW,” ujarnya.

FB_IMG_1428840894937 (2)  copy

Untuk membagi keuntungan dengan warga, ia membayar sesuai pesanan dan jumlah yang diproduksi. Misalnya ada pesanan membuat payung dan warga tersebut hanya mampu menyelesaikan empat payung. Jadi ia hanya akan membayar senilai empat payung tersebut.

“Namun ada pula warga yang mengambil upahnya sebulan sekali. Ini seperti menabung. Jadi tidak setiap kali menyetor kerajinan, mereka langsung mendapat upah. Sebulan, ada warga yang bisa mendapat Rp 7 juta,” katanya.

Nama :Engkos
Ttl : Purwakarta, 15 Agustus 1976
Pendidikan : Sekolah Menengah Atas
Hobi : Sepak bola dan tenis meja
Kontak : 08996929102 / 08161855579
Alamat : Jl Pangeran Shagiri No 150 Tanah Baru, Bogor Utara, Kota Bogor, Jawa Barat
Email : salam.rancage@yahoo.com
Facebook : Salam Rancage
Twitter : @salamrancage

By Didik Purwanto

Copywriter | Ghost Writer | ex Business Journalist | Farmer

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *