Penyakit kusta ternyata sudah ada sejak tahun 1873 loh. Wah lebih dari seabad donk. Namun kita belum banyak mengenal penyakit mematikan ini. Yuk kenali gejala penyakit kusta dan bagaimana tindakan pengobatannya.
Meski kasus dan pola persebaran kasus penyakit kusta ini tidak separah COVID-19, tetapi masyarakat perlu edukasi. Agar masyarakat paham dan kasus penyakit kusta di Indonesia makin berkurang.
Sejarah Penyakit Kusta
Awal mula penyakit kusta ditemukan ternyata pada peradaban Mesir Kuno, China kuno, dan India.
Ilmuwan asal Norwegia, Gerhard Henrik Armauer Hansen menemukan bakteri mycobacterium leprae pada 1873. Hingga ditemukan kembali bakteri mycobacterium lepromatosis oleh Universitas Texas pada tahun 2008. Jadi penyakit ini dulunya juga disebut penyakit lepra.
Anak generasi 90-an biasanya sering mengenal istilah ini dibanding penyakit kusta. Iya nggak?
Namun ada juga yang menyebut ini penyakit Hansen, sesuai dengan nama penemunya. Nama penyakit ini sekaligus mengganti kata leprosy yang sebenarnya memiliki makna negatif yaitu gangguan atau masalah kesehatan di Indonesia yang memiliki dampak komplikasi ganda.
Hal ini terkait isu miring atau stigma buruk yang diberikan masyarakat terhadap penderita penyakit kusta. Banyak masyarakat menganggap ini sebagai penyakit keturunan atau malah kutukan akibat dosa masa lalu. Imbasnya, masyarakat justru mengucilkan orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK).
Kasus Penyakit Kusta di Indonesia
Hingga saat ini, Indonesia masih menjadi penyumbang terbesar ketiga di dunia dalam kasus kusta, setelah India dan Brasil.
Kasus leprosy pertama di Indonesia bahkan sudah terjadi sejak tahun 1655. Rumah sakit leprosy pertama dibangun di Teluk Jakarta. Hingga dua abad kemudian, jumlah rumah sakit khusus ini meningkat menjadi 45 unit.
Sempat dan kadang masih sering masyarakat mengucilkan penderita penyakit kusta, sehingga pada tahun 1932 pemerintah meniadakan pengucilan penderita leprosy.
Sebenarnya, jumlah kasus baru penyakit kusta nasional menunjukkan pola mendatar hingga tahun 2010. Namun jumlah kasus mencuat setelah itu hingga penemuannya mencapai 23.000 kasus atau 9,5 per 100 ribu jiwa.
Kasus Penyakit Kusta Menurun
Junior Technical Advisor NLR Indonesia dr Febrina Sugianto bilang, kasus kusta di Indonesia pada 2020 mencapai 16.700 kasus. Jumlah itu sebenarnya turun dari tahun 2019 sebesar 17.439 kasus.
Penurunan kasus ini menandakan hal baik. Sebaran informasi yang masif dan masyarakat yang makin patuh berobat mendorong kasus kusta di Indonesia terus menurun.
Namun ini juga bisa menjadi hal buruk. Misalnya tindakan awal yang dilakukan petugas kesehatan terhadap pasien yang datang ke rumah sakit (screening) menurun. Sehingga kasus penyakit kusta di Indonesia ini terkesan turun.
Hal ini juga disebabkan akibat pandemi COVID-19 yang mendorong masyarakat mengurangi intensitas pergi ke luar rumah atau bahkan ke rumah sakit.
Masyarakat kadang malah takut pergi ke rumah sakit karena akan tertular COVID-19.
“Sejak Maret 2020, banyak program screening dari dokter atau rumah sakit menurun karena ada pelarangan masyarakat pergi ke tempat ramai. Jadi program screening banyak yang put and hold. Bisa jadi penurunan kasus karena itu,” kata dr Febrina saat program Ruang Publik KBR “Gaung Kusta di Udara” yang disiarkan langsung melalui Radio KBR dan 102 jaringan radio di seluruh Indonesia serta live streaming YouTube berita KBR pada Senin (13/9/2021).
Sebaran Kasus Kusta di Indonesia
Menurut dr Febrina, sekitar 26 provinsi telah mencapai eliminasi kusta. Serta 8 provinsi yang belum mencapai eliminasi. Yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.
Ada juga 113 dari 514 kabupaten/kota yang belum mencapai eliminasi kusta.
Eliminasi ini artinya menurunkan angka kesakitan lebih kecil dari 1 persen per 10.000 orang.
Dari sebaran kasus tersebut, proporsi kasus kusta pada anak relatif tinggi. Pada 2019 ada sekitar 11 persen dan menurun menjadi 10 persen pada 2020.
“Jadi mayoritas sebaran kasus kusta di luar Pulau Jawa,” kata dr Febrina.
Jadi sejak 2011, pemerintah telah berhasil menurunkan angka kasus penyakit kusta menjadi hanya kurang dari 1 persen per 10.000 penduduk. Atau lebih tepatnya 0,91 persen per 10.000 penduduk.
Nah, pemerintah saat ini juga masih punya program untuk eradikasi (pemberantasan) dan penghilangan kasus penyakit kusta tersebut.
Penyebab Persebaran Kasus Kusta
Penyebab persebaran kasus kusta di Indonesia ada beragam. Apalagi Indonesia yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau dengan sosiodemografis dan sosiogeografis yang berbeda.
Untuk mengurasi kasus kusta di lokasi-lokasi tertentu, apalagi yang terpencil, membutuhkan usaha keras.
“Namun penyebab lonjakan kasus kusta di Indonesia itu karena stigma. Orang sudah tahu terkonfirmasi kasus kusta tapi tidak mau menjalani pengobatan atau malah dikucilkan,” kata dr Febrina.
Menurut dr Febrina, pengucilan orang dengan penyakit kusta ini karena ada stigma dari masyarakat. Misalnya ada anggapan kusta itu merupakan kutukan atau dosa dari masa lalu atau perbuatan di masa lampau.
“Mereka lantas tidak mau keluar rumah karena merasa malu. Jadi mereka ini tidak mencari solusi. Akibatnya mereka tidak keluar rumah dan hanya interaksi intens dengan keluarga serumah. Pola ini yang menyebabkan lonjakan kasus kusta,” kata dr Febrina.
Lonjakan kasus kusta juga karena hoaks atau mitos yang beredar di masyarakat. Seperti kasus kusta menular karena sentuhan. Padahal kasus kusta ini menyebar bukan karena itu. Tapi kontak dekat lebih dari 15 jam dan harus berada dalam 1 ruangan atau satu rumah serta harus memang benar-benar mengidap kusta dan tidak mendapat pengobatan apa pun.
Penyebaran penyakit kusta juga melalui batuk dan bersin dari penderita. Setelah masuk tubuh, bakteri akan berkembag biak. Masa inkubasi biasanya sekitar 5 tahun.
“Jika cuma say hi dan papasan di jalan, tidak terjadi kasus penularan kusta,” ujar dr Febrina.
Begitu juga mitos tentang penyebaran kasus kusta karena masyarakat kurang menjaga kebersihan atau sanitasi. Atau juga karena ada anggapan penyakit kusta tidak bisa disembuhkan.
“Kalau ada mitos seperti itu, lantas tidak mau berobat, ya kasus akan meningkat lagi,” ujarnya.
Jenis-Jenis Penyakit Kusta
Berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penyakit kusta terbagi dalam dua hal, yakni:
Paucibacillary
Kasus kusta ini ditandai dengan munculnya lima titik lesi atau lebih sedikit dan tidak ada bakteri yang terdeteksi dalam sampel kulit. Biasanya timbul bercak sedikit dengan warna lebih cerah.
Distribusi bercak tersebut juga asimetris. Kalau muncul di kanan tubuh, bercak akan muncul di kanan tubuh saja. Begitu sebaliknya.
Ada juga gejala mati rasa di bagian area sensitif. Begitu juga dengan gangguan fungsi syaraf di bagian tertentu.
Kasus kusta ini juga disebut kusta kering atau kusta dengan kuman sedikit.
Multibacillary
Kasus kusta ini muncul akibat timbul lebih dari lima lesi dan biopsi kulit didiagnosis mengandung bakteri.
Jenis kusta ini juga disebut kusta basah atau kasus kusta dengan kuman banyak. Jenis kusta ini paling banyak ditemukan kasusnya di Indonesia.
Berdasarkan Kementerian Kesehatan Indonesia, tidak semua orang serta merta mudah tertular kusta. Secara statistik hanya 5 dari 100 orang yang bisa terinfeksi. Dan hanya 2 dari 5 orang itu yang akan bergejala.
“Kasus kusta ini memang tidak separah COVID-19. Masyarakat tidak perlu takut sehingga harus memisahkan penderita kusta di bangsal atau ruangan khusus,” kata dr Febrina.
Gejala Penyakit Kusta
Seseorang yang mengidap penyakit kusta akan mengalami hal ini di seluruh tubuhnya. Misalnya:
- Terdapat banyak benjolan simetris di kedua sisi tubuh
- Selaput hidung mengalami penumpukan kerak sehingga sulit untuk bernapas
- Pendarahan dan radang mata
- Otot-otot melemah
- Tangan, kaki, dan paha terasa mati rasa
- Terdapat luka di tangan
Bila tanpa pengobatan rutin, penderita kusta dapat mengalami cacat permanen, terutama pada tangan, kaki dan wajah.
Obat Penyakit Kusta
Berdasarkan WHO, obat bagi penderita kusta ada beragam. Namun WHO merekomendasikan regimen Multi Drug Therapy (MDT).
Dengan obat tersebut, pemberantasan kasus kusta di berbagai negara mencapai hasil memuaskan. Lebih dari 10 juta penderita berhasil disembuhkan dan lebih dari 1 juta penderita diselamatkan dari kasus kecacatan.
Menurut dr Febrina, kusta dapat diobati dengan kombinasi MDT. Kombinasi ini dalam blister yang diberikan sesuai dengan jenis penyakitnya.
Untuk kusta kering, MDT terdiri atas Rifampisin dan Dapson. Obat harus diminium sebanyak 6 blister selama 6-8 bulan.
Untuk kusta basah, MDT terdiri atas Rifampisin, Dapson, dan Klofazimin. Obat ini harus diminum sebanyak 12 blister selama 12-18 bulan.
“Jadi masing-masing penderita harus minum 1 blister per bulan. Jika bolong-bolong atau putus minum obatnya, harus mengulang dari awal. Tapi kalau belum parah putusnya, obat bisa dilanjutkan,” kata dr Febrina.
Obat MDT ini bisa diperoleh secara cuma-cuma di Puskesmas. Dosis pertama harus diminum di depan petugas Puskesmas. Selanjutnya, obat bisa diminum sesuai petunjuk dalam blister.
Edukasi Masyarakat
Manager Program dan Podcast KBR Malika bilang, KBR selalu mengangkat isu-isu marjinal yang jarang diangkat media lain.
Melalui media radio dan podcast, KBR berharap masyarakat semakin teredukasi dengan siaran ini. “Masyarakat juga diharapkan tidak akan mengucilkan lagi penderita kusta,” kata Malika.
Menurut Malika, lonjakan kasus kusta di Indonesia juga berasal dari keterlambatan penanganan hingga stigma karena ketidaktahuan.
Agar tidak memicu hal itu, KBR bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk NLR Indonesia untuk membuat program khusus ini. Sekaligus mencari berbagai macam bacaan untuk menyajikan edukasi yang gampang diterima masyarakat awam.
“Kami sebisa mungkin membahas sebuah isu di koridor yang benar. Jangan sampai bahasan kami malah semakin mengucilkan mereka. Intinya, kami berharap stigma terhadap penderita kusta semakin menurun. Bahkan tidak ada lagi,” kata Malika.