Rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla ke depan diperkirakan akan terganjal. Saat ini, Koalisi Merah Putih (KMP) sudah menguasai lebih dari setengah parlemen.
Ekonom ANZ Banking Group Ltd Daniel Wilson mengatakan, resistensi politik akan menyulitkan setiap perubahan dalam kebijakan, terutama kenaikan harga BBM. Pada perdagangan saham Kamis (2/10), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 2,3 persen pada pukul 14.09 WIB, penurunan terparah sejak 20 Mei 2014. Akhir penutupan perdagangan, IHSG turun 2,725 persen menjadi 5.000,80. Namun rupiah berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI) masih menguat di level Rp 12.136 dibanding sebelumnya Rp 12.188 per dolar AS.
Rencana Jokowi menaikkan harga BBM dipicu ingin memersempit defisit transaksi berjalan karena Indonesia rentan terhadap arus modal asing. Nilai tukar rupiah sudah melemah empat persen sepanjang September, paling parah setelah yen Jepang di antara 11 mata uang Asia yang disurvei Bloomberg.
“BBM dibutuhkan dalam setiap proses produksi dan kehidupan sehari-hari. Namun rencana kenaikan harga BBM sekitar Rp 1.500 per liter diperkirakan tidak akan memiliki banyak dampak pada defisit transaksi berjalan meski ada rencana kenaikan sekitar 46 persen menjadi Rp 3.000 per liter,” katanya.
Namun untuk mendapatkan persetujuan kenaikan harga BBM, Jokowi harus ke DPR yang saat ini sudah dikuasai koalisi pesaing. “Ini yang tidak akan mudah dilalui Jokowi ke depan,” katanya.
Bank Dunia menyebut, Indonesia telah menyubsidi BBM sejak guncangan harga minyak pada 1970. Hingga 2005, harga BBM di Indonesia kurang dari US$ 0,2 per liter (sekitar Rp 2.400). Harga BBM bersubsidi terakhir direvisi dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.500 per liter pada 2013 dari harga keekonomisan Rp 11.800 per liter di Jakarta.
Analis Morgan Stanley Deyi Tan menyarankan Jokowi bisa menaikkan harga BBM bertahap dari 15-30 persen hingga awal 2015. Setiap kenaikan 10 persen dari harga BBM akan mengurangi defisit transaksi berjalan sekitar 0,14 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Ekonom Bank Central Asia (BCA) memerkirakan kenaikan harga BBM sebesar 15 persen akan memersempit kesenjangan defisit transaksi berjalan sekitar US$ 1 miliar atau sekitar Rp 11,9 triliun.
Kenaikan harga BBM bersubsidi dinilai perlu karena Indonesia tidak bisa meningkatkan produksi minyak mentah. Produksi minyak mentahnya telah turun lebih dari 50 persen sejak pertengahan 1990-an karena sumur minyak telah tua. Di sisi lain, pemerintah membatasi pengembangan sumur baru oleh swasta dan impor BBM terus meningkat seiring pertumbuhan masyarakat dan kenaikan penjualan mobil dan sepeda motor.
Analis Wood Mackenzie Ltd Suresh Sivanandam mengatakan, impor bensin di Indonesia akan meningkat menjadi 354 ribu barel per hari pada 2015 dari 312 ribu barel per hari tahun ini. Hal itu terjadi jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM.
“Kami percaya permintaan BBM di Indonesia akan terus tumbuh seiring kenaikan tingkat pendapatan masyarakat. Kami tidak melihat perubahan besar neraca perdagangan karena kilang minyak baru tidak ada,” katanya.
Penjualan Mobil
PT Astra International mencatat, penjualan mobil domestik rata-rata 104.601 unit per bulan pada semester II-2013, dibanding 100.372 unit pada semester I-2013. Penjualan rata-rata tahun ini mencapai 103.800 unit per bulan.
Analis otomotif JPMorgan Securities Indonesia Aditya Srinath mengatakan, kemacetan sudah menjadi hal lumrah di Jawa. Kualitas lalu lintas yang buruk mendorong masyarakat memilih kendaraan lebih besar sehingga bisa membawa keluarga lebih banyak. “Imbasnya permintaan BBM cenderung lebih tinggi,” katanya.
Komisaris BPH Migas Ibrahim Hasyim mengatakan, konsumsi BBM terus tumbuh karena jumlah kendaraan meningkat dan kelas menengah terus tumbuh. “Kemacetan lalu lintas yang semakin parah juga membuang bahan bakar sehingga konsumsinya juga lebih banyak,” katanya.
Sumber: Bloomberg