Di usia senjanya, Ami Zulfiati tidak berpangku diri mengharap uluran tangan anak untuk kehidupan sehari-hari. Perempuan 50 tahun ini mencoba berkreasi membuat rajutan sebagai aksesoris.
Ami mencoba kreasi rajutan karena ingat masa pelajaran di zaman sekolah menengah pertama (SMP) dulu. Saat itu, kreasinya macam-macam meski hanya digunakan sebagai kegiatan ekstrakurikuler.
Namun kesukaannya terhadap seni merajut juga disebabkan Ami mengalami alergi kulit cukup parah saat itu. Hasil pemeriksaan dokter menyebut Ami mengalami psoriasis. Dokter saat itu juga kesulitan menemukan obat untuknya. Ami kian depresi karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan hanya karena tidak ada obat untuk penyakit tersebut.
“Obat yang dikasih dari dokter justru obat untuk kanker. Tetapi memang mengurangi, hanya tidak menyembuhkan,” ujarnya.
Dari depresi itu, Ami mencoba tidak terlarut dalam kesedihan. Ia mencoba bangkit dan ingat dengan masa lalunya, kegemaran merajut. Ketrampilannya tersebut kian ditekuni sejak lima tahun lalu.
Untuk mengasah kemampuannya, perempuan asal Bandung itu mencoba membeli buku kreasi rajutan, meski berbahasa Jepang. Beruntung foto-foto cara merajut cukup lengkap dalam buku itu. Ami mengabaikan kata-kata dalam bahasa Jepang karena ia memang tidak bisa membacanya.
“Buku kreasi rajutan dari Jepang lebih mudah dipahami daripada buku rajutan dalam bahasa Inggris. Padahal saya tidak bisa membaca aksara bahasa Jepang,” katanya.
Hanya berawal dari keisengan menghilangkan penyakit dan depresi, hasil rajutannya kian diminati warga sekitar perumahannya. Ia baru menyadari saat di pusat perbelanjaan, ternyata ada hasil rajutan serupa yang dijual.
Lantas Ami mencoba menekuni rajutannya sebagai sebuah bisnis kecil-kecilan, meski ia harus membuat sendiri kreasi tersebut. Ide untuk mengomersialkan seni rajutannya baru muncul beberapa bulan belakangan ini. “Awalnya saya hanya senang mengedukasi dan memotivasi teman dan tetangga sekitar rumah untuk membuat rajutan mengisi waktu luang,” katanya.
Dengan ketekunannya dan berani mencoba hal baru, hasil rajutannya kini mulai dikenal banyak orang. Di sela kesibukannya sebagai ibu rumah tangga, Ami mampu membuat rajutan sekitar 10-15 buah per hari. Sebulan, ia mampu menghasilkan sekitar 500 buah rajutan.
Hasil rajutannya itu banyak dikenalkan oleh orang-orang di sekitarnya. Biasanya masyarakat yang mengenal Ami banyak menceritakan hasil rajutan tersebut ke orang lain sehingga bisa menyebar. Ami menjual hasil kreasinya hanya sekitar Rp 15 ribu-Rp 30 ribu per buah.
“Saya belum berniat membisniskan hasil kreasi saya. Sebulan, untungnya masih Rp 1 juta. Lumayan untuk menambah pendapatan di usia senja saya,” katanya.
Ke depan, ia mencoba untuk membuat proyek pembuatan suvenir. Namun proyek ini masih memerlukan tambahan modal sekitar Rp 5 juta per bulan agar bisa menerima pesanan dari pihak lain.
Usia Senja Bukan Halangan Kreatif
Ami menyadari hasil kreasinya ini belum mendatangkan untung besar. Namun perempuan dengan tiga putra ini ingin menyebarkan edukasi sekaligus motivasi ke semua orang. Ia menganggap usia senja bukan halangan untuk berkreasi.
“Saat ini banyak orang tua yang hanya berpangku tangan menunggu uang pensiunan. Kita harus berubah. Selama kita masih bisa berdiri, kita masih bisa berkreasi. Soal untung, itu urusan nanti,” katanya.
Istri dari Konsultan Pendidikan Lingkungan dan Pariwisata Edy Hendras Wahyono ini mengajarkan seni merajut hingga Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Rencananya Ami akan beker jasama dengan pemerintah setempat mengedukasi warga di Sambas, Kalimantan Barat yang merupakan kawasan perbatasan Malaysia.
“Suami ada proyek di sana, sekalian memang ada kerja sama dengan Kementerian Pariwisata. Saya bisa memberikan sesuatu kepada ibu-ibu dan gadis remaja di sana,” ujarnya.
Di Kalimantan, ia bertemu dengan warga transmigran. Ami pun tidak mengaku kesulitan memberikan pelajaran seni merajut di sana. Ami pun tidak memberikan tarif atas pelajaran merajutnya itu. Ia murni memberikan edukasi karena ingin berbagi kemampuannya dalam merajut.
Tapi kebaikannya itu juga berbuah pendapatan baginya. Masyarakat yang sudah diajari cara merajut, pelan-pelan mulai membeli benang atau jarum darinya. Ami sampai rela belanja benang dan peralatan menjahit dari Bandung hingga Jawa Timur untuk mendapatkan benang terbaik dan murah.
Ke depan, Ami bercita-cita memiliki studio ataupun galeri untuk memamerkan hasil karyanya sekaligus memberikan kelas belajar bagi masyarakat yang tertarik dengan seni merajut. “Berbagi dengan sesama lebih tinggi nilainya dibandingkan kita hanya menyimpan sendiri keahlian tersebut,” katanya.
Data Pribadi :
Nama : Ami Zulfiati
Tempat/tanggal lahir : Bandung, 15 Desember 1964
Pendidikan : D2 Informatika
Suami : Drs.Edy Hendras Wahyono
Anak-anak : Tenno Mauladan (23), Dinda Nur Maulani (21), dan Diva Ratih Zulfia (14)
Alamat : Bogor, Jawa Barat
No. Handphone : 085716600079
Email : azulfiati@gmail.com