Cara perawatan dan penanganan pasien kusta hingga kini belum banyak diketahui. Pasien dan orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) terkena stigma sehingga takut berobat sejak dini.
Apalagi tidak semua unit layanan kesehatan memahami informasi tentang kusta. Imbasnya, orang dengan penyakit kusta tidak mendapatkan layanan optimal dan enggan berobat.
Jumlah Kasus Penyakit Kusta
Technical Advisor Program Leprosy Control NLR Indonesia dr M Riby Machmoed MPH bilang, penyakit kusta sudah ada sejak dulu. Namun hingga kini, penyakit yang disebabkan oleh bakteri leprosy ini belum tuntas diberantas.
Baca juga Kenali Gejala Penyakit Kusta
Penyebab penyakit ini sulit diberantas karena masyarakat masih terkena stigma. Ada anggapan, penyakit dan pasien kusta ini mendapatkan kutukan.
Atau ada juga anggapan penyakit ini susah disembuhkan. Stigma negatif ini yang menjadikan OYPMK makin sudah mendapatkan perawatan dan penanganan.
Keterlambatan perawatan dan penanganan OYPMK ini yang menjadikan kasus kusta masih ada, meski telah menurun.
Jumlah penderita penyakit kusta secara nasional di Indonesia pada 2020 mencapai 13.180 kasus. Jumlah tersebut telah menurun dibandingkan pada 2019 sebanyak 19.900 kasus.
“Penurunan jumlah kasus penderita kusta pada periode ini diperkirakan akibat pandemi COVID-19,” kata dr Riby saat webinar Ruang Publik KBR dengan tema “Dinamika Perawatan Diri dan Pencegahan Disabilitas Pada Kusta di Lapangan yang disiarkan Berita KBR, Kamis (28/4/2022).
Penemuan kasus baru pada periode yang sama juga relatif menurun. Pada 2019 tercatat 17.400 kasus baru. Pada 2020 telah menurun menjadi 11.173 kasus baru pasien kusta.
Kasus Cacat Penderita Kusta
Kasus cacat penderita kusta di Indonesia juga menurun. Berdasarkan indikator global, kasus cacat pada penderita kusta mencapai 4,18 per satu juta penduduk pada 2019. Jumlah itu menurun menjadi 2,13 kasus per satu juta penduduk pada 2020.
“Kasus anak dengan penyakit kusta juga menurun menjadi hanya 1.226 orang pada 2020. Pada 2019, jumlahnya lebih dari itu,” kata dr Riby.
Jumlah kasus tertinggi penderita kusta terjadi di Provinsi Jawa Timur dengan 2.139 orang. Disusul Jawa Barat dengan 1.845 orang, Papua 1.200 orang, Jawa Tengah 1.139 orang, serta Papua Barat 912 orang.
Terkait prevalensi (tingkat kasus per penduduk), tertinggi terjadi di Papua Barat sekitar 9,19 orang per 10 ribu penduduk. Artinya, hampir 10 orang per 10 ribu penduduk di sana terkena penyakit kusta.
Di bawahnya, ada Papua dengan prevalensi 3,5 per 10 ribu penduduk. “Artinya, daerah timur Indonesia masih mendominasi tingkat prevalensinya,” kata dr Riby.
Penyakit Kusta Bukan Kutukan
Penanganan penyakit kusta masih terhambat di Indonesia. Apalagi pasien mendapat stigma, terutama dari masyarakat sekitar.
Misalnya, anggapan penyakit kusta merupakan penyakit kutukan sehingga tidak bisa disembuhkan. Padahal anggapan tersebut justru menyulitkan pasien mendapatkan perawatan yang benar.
Wasor Kusta Dinas Kesehatan Kota Makassar Sierli Natar, S Kep bilang akan terus sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat terkait penyakit kusta. Pendampingan dari keluarga dan petugas kesehatan terus dilakukan bahwa penyakit kusta bukan kutukan.
“Pasien merasa malu (terstigma diri sendiri). Mereka tidak terima (kalau terkena kutukan),” kata Sierli.
Baca juga: Peran Dokter di Tengah Pandemi
Petugas kesehatan akan terus melakukan pendampingan ke masyarakat, terutama yang menderita penyakit tersebut. Selain itu akan memberikan penyuluhan hingga pemeriksaan kelainan fungsi syaraf.
Pemeriksaan hingga perawatan dapat dilanjutkan oleh pasien sendiri di rumah. Caranya, menggunakan alat sederhana di rumah.
“Misalnya di kaki dengan merendam di air biasa selama 20 menit. Di pinggiran kaki bisa digosok dengan batu apung. Lantas diberikan minyak kelapa, tutup dengan kain bersih atau perca,” kata Sierli.
Deteksi Dini Penyakit Kusta
Technical Advisor Program Leprosy Control NLR Indonesia dr M Riby Machmoed MPH bilang, perawatan pasien penyakit kusta harus dilakukan setiap hari, bahkan oleh pasien sendiri. Kontrol bisa dilakukan minimal tiga bulan sekali ke puskesmas atau rumah sakit terdekat.
Pasien harus mengetahui gejala dini penyakit kusta agar tidak menularkan ke orang terdekat atau masyarakat di sekitarnya. Misalnya ada bercak merah atau putih di tubuh, tapi tidak gatal maupun sakit. Atau istilahnya mati rasa. Ada juga rasa kebas pada jari tangan, kaki, hingga kelopak mata.
“Itu harus hati-hati. Bisa jadi itu gejala dini penyakit kusta,” kata Riby.
Dengan kondisi tersebut, pasien kemungkinan mendapatkan reaksi kusta. Biasanya terjadi demam ringan hingga sedang. Lantas muncul bercak putih hingga menjadi bercak merah.
Sendi siku tangan dan kaki menjadi sakit. “Kondisi ini jangan dipandang enteng. Bahkan hanya berpandangan ini penyakit rheumatik,” kata Riby.
Cara Perawatan dan Penanganan Pasien Kusta
Pemberantasan penyakit kusta tak akan berhasil jika tak dimulai dari diri sendiri. Masyarakat yang mengetahui informasi dapat memeriksakan gejala dini.
“Mari berantas kusta dari diri sendiri, keluarga, dan masyarakat luas,” kata Sierli.
Dukungan keluarga juga mutlak diberikan untuk pasien kusta. Tanpa dukungan mereka, penyembuhan pasien tak akan berlangsung sempurna.
Jangan sampai keluarga malah mengucilkan pasien. Apalagi ada anggapan penyakit kutukan hingga penyakit keturunan.
Riby mengharapkan pemberantasan penyakit kusta di Indonesia berlangsung cepat. Namun, penyakit kusta ada risiko kecacatan tubuh. Apalagi saat pengobatan tanpa pengawasan.
Pengobatan pasien kusta ini setiap hari, minimal tiga tahun dan maksimal lima tahun. Kalau masih terkena kontak dari pasien lain kusta, pasien yang sembuh ini masih ada peluang terkena juga.
“Sesuai target Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kami mengharapkan penyakit kusta dapat diberantas hingga nol kasus pada 2030,” kata Riby.