pernikahan di when life gives you tangerines

Ada yang bilang, lebih baik terlahir menjadi sapi daripada menjadi wanita di Pulau Jeju, Korea Selatan. Kenapa seperti itu? Review When Life Gives You Tangerines bakal ngasih kalian gambaran perjuangan kehidupan masyarakat Korea Selatan, khususnya di Pulau Jeju sekitar tahun 1950-1960an hingga masa kini. Termasuk perkembangan sosial, ekonomi dan budaya setempat.

Review When Life Gives You Tangerines

Review When Life Gives You Tangerines adalah drama Korea yang membawa penonton ke dalam perjalanan emosional penuh warna di Pulau Jeju. Drama Korea ini unik karena berlatar tahun 1950-an hingga masa modern.

Drama ini mengisahkan kehidupan Ae-sun (IU), seorang gadis pemberontak yang bercita-cita menjadi penyair meski terbentur keterbatasan ekonomi keluarganya. Dan Gwan-sik (Park Bo-gum), pemuda pendiam yang setia mencintai dan mendukung Ae-sun dalam diam.

Berlatar di Pulau Jeju yang indah, cerita ini terbagi dalam empat musim—musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin—yang mencerminkan dinamika hubungan mereka serta perubahan zaman.

Ae-sun digambarkan sebagai sosok cerdas, berjiwa bebas, dan ekspresif. Namun sering kali harus menghadapi kerasnya realitas sebagai anak seorang haenyeo (penyelam wanita di Jeju) yang hidup dalam kemiskinan.

Di sisi lain, Gwan-sik, anak seorang penjual ikan, adalah pria tulus dan pekerja keras yang menemukan makna hidupnya dalam melindungi dan mencintai Ae-sun. Kisah cinta mereka tidak hanya manis, tetapi juga penuh liku, menggambarkan perjuangan melawan takdir dan kondisi sosial pada masa itu.

Review when life gives you tangerines

Drama ini juga menampilkan versi dewasa dari kedua tokoh, yang diperankan oleh Moon So-ri (Ae-sun) dan Park Hae-joon (Gwan-sik), menunjukkan bagaimana cinta dan impian mereka berkembang seiring waktu hingga tahun 2020-an.

Ditulis oleh Lim Sang-choon (When the Camellia Blooms, Fight for My Way) dan disutradarai oleh Kim Won-seok (My Mister, Signal), drama ini memadukan romansa, melodrama, dan elemen slice-of-life dengan latar sejarah yang autentik.

Pemandangan Pulau Jeju—kebun tangerine, pasar tradisional, dan laut biru—menambah kehangatan dan nostalgia pada cerita. Dengan biaya produksi mencapai Rp 675 miliar, drama ini menawarkan visual memukau dan detail sejarah yang kaya, menjadikannya tontonan yang tak hanya menghibur tetapi juga menggugah hati.

Mengenal Istilah Haenyeo di When Life Gives You Tangerines

Bagi penyuka Korea, tentu tidak asing dengan istilah haenyeo meski belum banyak drama Korea yang menyuguhkan cerita ini. Aku dulu malah mengenal istilah haenyeo dalam berita.

Istilah haenyeo adalah penyelam wanita tradisional dari Pulau Jeju yang terkenal karena kemampuan mereka menyelam tanpa alat bantu pernapasan modern. Mereka mengumpulkan hasil laut seperti kerang, abalon, dan rumput laut.

Haenyeo di when life gives you tangerines

Para penyelam ini adalah simbol kekuatan, kemandirian, dan ketahanan wanita Jeju. Meskipun ada ritual atau doa yang kadang dilakukan sebelum menyelam untuk keselamatan, ini adalah bagian dari tradisi budaya, bukan praktik dukun. Dalam review When Life Gives You Tangerines, ibu Ae-sun adalah haenyeo, yang menunjukkan latar belakang keluarga pekerja keras namun miskin.

Mengenal Kondisi Korea Selatan pada Tahun 1960-an

Pada tahun 1960-an, Korea Selatan berada dalam fase transisi pasca-Perang Korea (1950-1953). Dalam masa itu gambaran kondisi Korea Selatan akan terbagi dalam beberapa hal, yakni:

Ekonomi

Masih sangat miskin dan agraris. Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita pada 1960 hanya sekitar $79 (setara dengan $700 hari ini jika disesuaikan dengan inflasi).

Negara Korea Selatan saat itu sangat bergantung pada bantuan asing, terutama dari Amerika Serikat. Industrialisasi baru dimulai di bawah pemerintahan Park Chung-hee (berkuasa sejak 1961) dengan fokus pada ekspor.

Sosial dan Politik

Setelah Perang Korea, negara ini mengalami ketidakstabilan politik. Revolusi April 1960 menggulingkan Presiden Syngman Rhee, diikuti kudeta militer Park Chung-hee pada 1961. Masyarakat hidup dalam kondisi sulit dengan tingkat kemiskinan tinggi dan akses pendidikan terbatas, terutama di daerah pedesaan seperti Jeju.

Kondisi Jeju pada 1960-an

Pulau ini masih terisolasi dan kurang berkembang dibandingkan daratan utama. Perekonomiannya bergantung pada pertanian (seperti tangerine/jeruk keprok) dan perikanan, termasuk peran haenyeo. Tragedi Pemberontakan Jeju 1948-1949 juga meninggalkan luka sosial yang dalam.

Perempuan tidak bisa menjadi presiden, hakim, atau pengacara. Tidak ada pekerjaan yang lebih baik dari haenyeo.

Kim yong-rim, neneknya gwan-sik

Konteks ini tercermin dalam drama, di mana Ae-sun dan Gwan-sik menghadapi kerasnya hidup di era tersebut, dengan impian yang sulit diraih akibat kemiskinan dan keterbatasan.

Mengenal Tradisi Masyarakat Jeju

Masyarakat Jeju memiliki tradisi unik yang dipengaruhi oleh isolasi geografis dan sejarahnya. Beberapa di antaranya:

Haenyeo

Seperti disebutkan, penyelam wanita ini adalah tulang punggung ekonomi keluarga. Mereka menyelam hingga kedalaman 10-20 meter tanpa oksigen tambahan, sebuah tradisi yang kini diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda.

Budaya Matriarki

Jeju dikenal dengan peran wanita yang kuat, berbeda dari budaya patriarki Korea daratan. Wanita sering menjadi pencari nafkah utama, sementara pria mengurus rumah atau bertani.

Bukan hidup yang jahat. Tapi uang lah yang jahat.

Dialek Jeju

Bahasa lokal berbeda dari bahasa Korea standar, dengan kosakata dan aksen unik. Judul asli drama ini yakni Pokssak Sogattsuda (“Kamu sudah melakukan yang terbaik”), diambil dari dialek ini.

Ritual Shamanisme

Jeju memiliki tradisi gut (ritual shaman), dipimpin oleh simbang (dukun), untuk memohon keselamatan atau panen. Ini bukan berarti haenyeo adalah dukun, tetapi ritual ini kadang melibatkan komunitas laut.

Di dalam review When Life Gives You Tangerines, terlihat sekali peran dukun, terutama yang dilakoni nenek dari Gwan-sik. Mereka yang berada dalam keluarga berkecukupan, juga ingin menantu yang berkecukupan pula.

Saat Gwan-sik dan Ae-sun akhirnya menikah muda, nenek ini emang sudah menentang lama. Namun akhirnya menyetujui karena kegigihan mereka. Tapi karena Ae-sun tidak segera memiliki putra (meski sudah memiliki dua putri), keluarga Gwan-sik dan Ae-sun dianggap tidak sempurna.

Makanya, sang nenek selalu bikin ritual khusus. Termasuk melemparkan kacang merah ke tubuh Ae-sun agar segera punya putra alias anak cowok.

Pertanian dan Tangerine

Kebun tangerine adalah simbol Jeju, mencerminkan kehidupan agraris yang sederhana namun penuh kerja keras.

Tradisi ini kemungkinan besar akan muncul dalam drama sebagai latar belakang kehidupan Ae-sun dan Gwan-sik, menambah kedalaman cerita tentang cinta dan perjuangan mereka.

Nama Pemain When Life Gives You Tangerines

– IU (Lee Ji-eun) sebagai Ae-sun (versi muda)

– Park Bo-gum sebagai Gwan-sik (versi muda)

– Moon So-ri sebagai Ae-sun (versi dewasa)

– Park Hae-joon sebagai Gwan-sik (versi dewasa)

– Pemain pendukung: Kim Yong-rim (nenek Gwan-sik), Na Moon-hee (nenek Ae-sun), Oh Jung-se, Lee Jun-young, Choi Dae-hoon, Yeom Hye-ran, Baek Ji-won, dan Lee Soo-kyung.

Platform Penayangan When Life Gives You Tangerines

Kalian yang penasaran dengan review When Life Gives You Tangerines tayang perdana pada 7 Maret 2025. Drama ini dirilis secara bertahap setiap hari Jumat selama empat minggu di Netflix. Jadi bakal tayang selama bulan Ramadhan ini yakni pada tanggal 7, 14, 21, dan 28 Maret 2025. Jadwal tayang masing-masing 4 episode per minggu. Total ada 16 episode. Lumayan banget buat teman ngabuburit atau teman liburan di akhir pekan.

Pesan Hidup yang Ingin Disampaikan dalam When Life Gives You Tangerines

Review When Life Gives You Tangerines ingin menyampaikan beberapa pesan hidup yang mendalam:

Ketekunan dalam Mengejar Mimpi

Ae-sun menunjukkan bahwa meski hidup penuh keterbatasan, semangat untuk bermimpi dan berjuang tidak boleh padam. Ia tetap mengejar cita-citanya menjadi penyair meski tanpa pendidikan formal.

Kekuatan Cinta Tulus

Gwan-sik mengajarkan bahwa cinta sejati adalah tentang dukungan tanpa syarat dan kesetiaan, bahkan dalam diam. Sejak umur 10 tahun, Gwan-sik ini memang suka dengan Ae-sun. Tapi aku malah melihatnya seperti kasihan dengan Ae-sun yang setiap hari makan ala kadarnya, terutama ikan croaker. Makanya, Gwan-sik selalu datang untuk memberikan ikan makarel.

Belum lagi saat Ae-sun mengajak Gwan-sik minggat ke Busan, walau sebenarnya cita-cita Ae-sun adalah menikah dengan orang kaya asli Seoul. Saat tiba di Busan, Ae-sun dan Gwan-sik berusaha menjual perhiasan yang diambil dari calon ibu tirinya dan ibu dari Gwan-sik. Namun penjual tidak mau membeli karena dianggap ini barang curian.

Hidup dengan cinta tidaklah cukup. Sebelum menikah, dia akan bilang, kau satu-satunya. Tapi begitu menikah, dia akan melupakanmu. Semua pria menuruti ibunya.

Apalagi saat penginapan, mereka pun tidak bisa menunjukkan kartu identitas. Beruntung pemilik penginapan berbaik hati memberi tumpangan hingga makanan hingga soju agar mereka mabuk. Karena melihat mereka seperti pasangan yang ingin berbulan madu. Masalahnya, pemilik penginapan justru mengambil semua perhiasan mereka. Dan akhirnya Gwan-sik dan Ae-sun dibawa ke kantor polisi.

Beruntung ibu dari Gwan-sik berhasil menyusul mereka sampai ke Busan. Dan syukurnya, ketemu. Meski ibu dari Gwan-sik ini hanya ingin mencari perhiasan yang dicuri anaknya, termasuk perhiasan katak emas yang berharga.

Menghadapi Takdir dengan Keberanian

Baik Ae-sun maupun Gwan-sik menghadapi tantangan zaman dan kemalangan hidup dengan ketahanan hati, menegaskan bahwa hidup adalah perjalanan yang harus dijalani dengan penuh harapan.

Aku paling sedih pas adegan Gwan-sik diajak pelatih untuk berangkat ke Seoul naik kapal laut. Dan Ae-sun harus rela bakal menjadi istri kedua dari duda beranak dua. Duda berumur 30 tahun ini memang kaya raya, satu-satunya nelayan yang memiliki kapal di Desa Dodong-ri, tempat tinggal mereka.

Saat ingin pre-wedding gitu, Ae-sun ingin memakai gaun yang agak mewah. Namun duda itu menolak karena ingin pernikahan sederhana. Maklum, duda ini harus membiayai sekolah Ae-sun yang hanya lulusan SMP hingga kuliah jurusan Sastra Korea yang diminatinya sejak kecil.

Review drakor when life gives you tangerines

Namun impiannya menjadi istri orang kaya perlahan sirna karena duda itu mulai menunjukkan sikap kasar. Dan Ae-sun sebenarnya tidak ingin memiliki harta dari duda tersebut. Laaaah, lantas ia menikah karena apa kalau bukan karena hartanya ya?

Keinginan Ae-sun ternyata berubah. Ia hanya ingin menjadi pembantu di rumah duda kaya itu. Dan duda ini menggaji berapapun atas pekerjaannya. Duda itu marah. Ae-sun yang memang pemberani dan temperamental langsung lari menyusul ke pelabuhan. Naasnya, kapal laut yang membawa Gwan-sik telah berlayar. Cintanya pun kandas dong.

Belum dong pemirsa. Sang sutradara bikin adegan lebih romantis. Hanya karena teriakan Ae-sun, yang emang udah terkenal nyaring sejak kecil, berhasil mengetuk telinga Gwan-sik di dalam kapal. Gwan-sik yang mendengar teriakan Ae-sun mendatangi nakhoda kapal dan meminta untuk balik arah ke pelabuhan.

Karena tidak dikabulkan, Gwan-sik akhirnya nyebur ke laut dan berenang menuju pelabuhan. Menemui cinta sejatinya bersama Ae-sun. Ada-ada saja. Hehe.

Adegan di when life gives you tangerines

Keindahan Kesederhanaan

Berlatar di Pulau Jeju, drama ini mengingatkan bahwa kebahagiaan sering kali ditemukan dalam hal-hal sederhana seperti keluarga, cinta, dan alam.

Seperti Ae-sun yang hidup bersama keluarga kecilnya. Sang ibu menjadi haenyeo (penyelam di laut tanpa alat bantu pernafasan) tapi ayahnya justru seperti pengangguran dan menghabiskan harta sang ibu. Sang ibu bakal berusaha memberikan apapun yang dia bisa agar anaknya bahagia. Meski sang ibu ternyata meninggal lebih dulu. Dan membiarkan Ae-sun sebatang kara meski pula masih memiliki dua adik yang masih kecil dan terpaksa dipelihara oleh ayah tirinya dan calon ibu tirinya.

Siapkan Bekal Sebelum Pernikahan

Dalam review When Life Gives You Tangerines, kita bakal belajar banyak tentang finansial. Terutama nikah dulu atau mapan dulu? Karena Gwan-sik ini emang suka dengan Ae-sun sejak umur 10 tahun. Masalahnya, mereka hanya modal cinta tanpa persiapan matang, khususnya mental dan finansial. Namun itu sudah menjadi fenomena wajar sih sejak dulu.

Pernikahan di when life gives you tangerines

Beda dengan sekarang yang banyak alasan anak muda menunda pernikahan. Mereka takut akan terbebani mental, apalagi jika tak cukup finansial. Jangan sampai seperti pasangan Gwan-sik dan Ae-sun yang terpaksa tinggal bersama mertua. Coba saja tengok keuntungan-kerugian tinggal bersama mertua ini. Bahkan mereka hampir diusir ketika memilih ngekos (saat itu kan belum ada KPR ya kayak sekarang) karena memang penghasilan tidak mencukupi.

Apa Arti “Hwan” Sama dengan “Won” dalam Mata Uang Korea?

Dalam review When Life Gives You Tangerines, bakal sering terdengar istilah Hwan dan Won. Sekilas suara pengucapan kata tersebut bermakna sama. Namun ternyata berbeda.

Istilah Hwan dan Won tidak sama, meskipun keduanya pernah menjadi mata uang Korea Selatan di periode yang berbeda:

Hwan digunakan sebagai mata uang resmi Korea Selatan dari 15 Februari 1953 hingga 9 Juni 1962. Hwan diperkenalkan untuk menggantikan Won pertama kali karena hiperinflasi pasca-Perang Korea. Nilai satu Hwan setara dengan 100 Won lama.

Spesimen mata uang hwan korea selatan

Won diakui sebagai mata uang yang digunakan saat ini di Korea Selatan (dan masih digunakan di Korea Utara dengan versi berbeda). Won menggantikan Hwan pada 1962 dengan rasio 1 Won = 10 Hwan. Jadi, Hwan adalah pendahulu Won dan tidak lagi berlaku saat ini.

Dalam konteks drama yang berlatar 1950-an hingga 1960-an, Hwan kemungkinan besar adalah mata uang yang relevan pada masa itu, mencerminkan kondisi ekonomi saat cerita dimulai.

Kesimpulan

Review When Life Gives You Tangerines tidak hanya menawarkan kisah cinta yang mengharukan, tetapi juga jendela ke masa lalu Korea Selatan dan kekayaan budaya Jeju. Dengan acting memukau dari IU dan Park Bo-gum, When Life Gives You Tangerines layak menjadi salah satu drama wajib tonton di tahun 2025!

By Didik Purwanto

Copywriter | Ghost Writer | ex Business Journalist | Farmer

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *