Sebenarnya apa sih penyebab penyakit kusta yang masih merajalela? Pemerintah sih mengklaim bahwa penderita penyakit kusta terus menurun setiap tahun.
Namun hingga kini pengidap penyakit tersebut masih ada. Akankah penyakit tersebut bisa diberantas tuntas?
Stigmatisasi Kusta Masih Kuat
Contents
Direktur Mimi Institute dr Mimi Mariani Lusli bilang, penyebab penyakit kusta tinggi karena stigmatisasi penderita kusta masih kuat. “Banyak penderita kusta merasa cemas. Pengetahuan atau informasi mereka tentang penyebab penyakit kusta sangat kurang,” kata dr Mimi saat live streaming Makna Kemerdekaan Bagi Orang Yang Pernah Menderita Kusta (OYPMK), Seperti Apa? melalui radio KBR bekerja sama dengan NLR Indonesia, Rabu (24/8/2022).
Menurut dr Mimi, banyak masyarakat kurang mengenali gejala penyakit kusta. Sehingga mereka mengabaikan kebersihan diri dan lingkungannya.
Akibatnya, penyakit yang tidak menular secara gampang ini cenderung meluas. Khususnya stigmatisasi kepada penderitanya.
dr Mimi bilang, masyarakat masih menganggap kusta adalah penyakit kutukan. Anggapan ini turun-temurun berlangsung di masyarakat sehingga membentuk warisan negatif hingga kini.
“Saat ada anggota keluarga kena (penyakit kusta), ada anggapan (penyebab penyakit kusta tersebut) tidak bisa disembuhkan. Ada anggapan juga itu penyakit kutukan. Ini salah,” kata dr Mimi.
“Akibat informasi yang keliru ini, masyarakat yang terkena penyakit kusta malah dikucilkan, mendapatkan ejekan. Akhirnya penderita malah mengucilkan diri.”
Perlindungan Penderita Penyakit Kusta
Hingga kini pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Aturan ini juga berlaku untuk penderita kusta.
Menurut dr Mimi, banyak penderita disabilitas tak mendapatkan akses untuk menerima hak-hak sesuai yang dipersyaratka aturan tersebut.
“Seolah-olah mereka (penyandang disabiltas) merasa tak merdeka. Implementasi aturan ini perlu dibenahi agar kami (penyandang disabilitas, termasuk penderita kusta) merasa merdeka,” kata dr Mimi.
Misalnya, kata dr Mimi, penyandang disabilitas termasuk penderita kusta masih dikucilkan atau susah mengakses sarana transportasi, pendidikan hingga pekerjaan. “Intinya aturan tersebut memang belum optimal.”
Terkait akses pekerjaan, badan usaha milik negara (BUMN) dan swasta (BUMS) telah menerima kewajiban untuk mempekerjakan penyandang disabilitas. Kewajibannya, sekitar 2 persen untuk BUMN dan 1 persen untuk BUMS.
“Kita minta hak kita (untuk dipekerjakan) di sana. Tentunya harus mengikuti syarat dan aturan mereka. Bagaimana melamar hingga kemampuan apa yang harus dimiliki untuk melamar pekerjaan,” kata dr Mimi.
“Penyandang disabilitas ini hanya masalah bagaimana kita berinteraksi, bukan masalah ketidaksempurnaan fisik.”
Kontribusi Besar Pengangguran Nasional
OYPMK, Aktivis Difabel & perempuan Marsinah Dhede mengatakan, penyandang disabilitas, termasuk penderita kusta ini mengontribusikan jumlah cukup besar dalam pengangguran nasional. Bagaimana tidak, keterbatasan fisik dan skill yang dimiliki penyandang disabilitas menjadi hal yang mengganjal saat melamar pekerjaan.
“Itulah sebabnya penyandang disabilitas, termasuk penderita kusta harus memiliki skill, peningkatan kapasitas hingga dukungan pendidikan agar mereka bisa setara dengan orang normal lainnya,” kata Dhede.
Belum lagi, kata Dhede, stigma terhadap penderita kusta masih kuat. Pelestarian stigmatisasi bahwa penyebab penderita kusta mendapatkan kutukan hingga penyakit yang tidak bisa disembuhkan, justru malah memicu pemulihan kusta makin lama.
“Masyarakat (normal) harus menerima (bahwa penderita kusta tidak menularkan penyakitnya). Pendidikan dan sosialisasi terkait penyakit ini serta cara perawatan dan penanganan pasien kusta harus digencarkan,” kata Dhede.
Bahkan, kata Dhede, penyandang disabilitas, tak terkecuali penderita kusta tak perlu mendapatkan perbedaan terkait masalah sosial. Misal bulan ini menjadi bulan kemerdekaan Indonesia.
Banyak lingkungan desa hingga rukun tetangga (RT) menggelar perlombaan untuk memeriahkan kemerdekaan ke-77 Indonesia. “Peserta lomba jangan dipisah (antara masyarakat normal dan penyandang disabilitas). Siapapun harus terlibat dalam lomba atau lainnya. Soalnya kalau dipisah, nanti stigma malah makin besar.”
Pengobatan Penderita Penyakit Kusta
Pengobatan untuk menekan penyebab penyakit penyakit kusta bisa dilakukan di puskesmas atau klinik kesehatan terdekat. Setiap petugas kesehatan di lingkungan tersebut sudah mendapatkan pelatihan untuk penanganan penderita kusta.
“OYPMK juga perlu bergabung di komunitas penyandang disabilitas lainnya untuk mendapatkan perlindungan mencari kerjaan dan lainnya. Cek syarat dan ketentuannya. Kalau ada kendala, hak tak terpenuhi, bisa bicara dengan komunitas tersebut.”
dr Mimi juga mengoreksi stigmatisasi penyebab penyakit kusta agar tidak semakin meningkat. Kata ‘penderita’ tak perlu disematkan bagi pasien kusta.
“Sebab mungkin mereka (pasien kusta) tidak menderita. Cukup sebut mereka OYPMK. Mereka ini juga perlu mendekatkan diri ke masyarakat karena penyakit ini tidak menular. Mereka harus lebih sosialisasi. Ini akan mengedukasi masyarakat (tentang gejala penyakit kusta),” kata dr Mimi.
“Pasien kusta kalau dijauhi, mari kita dekati. Kita nggak bisa ubah masyarakat yang banyak daripada penyandang disabilitas. Saya kusta, sudah sembuh, tidak menularkan. Jadi kita harus memberikan pengetahuan kepada orang normal kebanyakan. Dengan itu kita bisa merdeka seperti lainnya. Sekaligus terbebas dari stigma buruk itu.”