Little Big Master

Review film Little Big Master bakal menyoroti potret buruk wajah pendidikan, khususnya yang terjadi di China. Namun potret tersebut diperkirakan juga terjadi di berbagai kota di dunia.

Pendidikan Hanya untuk Orang Mampu?

Pendidikan yang selama ini dijanjikan menjadi hak setiap warga negara ternyata belum bisa dinikmati seluruh warga. Pendidikan seakan hanya milik orang mampu, entah demi sebuah kebutuhan atau hanya menuntut gengsi biar dianggap mampu.

Masyarakat miskin terpaksa mengubur mendapatkan sebuah pendidikan. Apalagi bila masyarakat tersebut dalam mendapatkan kebutuhan primer masih kesusahan.

Pendidikan selama ini juga masih dianggap komoditas yang mampu mendulang keuntungan. Bagi yayasan, memiliki sebuah pendidikan seakan menjadi gengsi tersendiri meski tujuan tersebut hanya menjadi tanggung jawab perusahaan (corporate social responsibility/CSR).

Celestial Movies baru menayangkan pada Minggu (25/10) pukul 20.00 WIB tentang sebuah film bertema pendidikan, yaitu Little Big Master. Film drama Hong Kong terlaris tahun ini tersebut diperankan aktris Miriam Yeung dan aktor Louis Koo. Film ini dikampanyekan sekaligus menyemarakkan #ILoveHKMovies.

Saya beruntung menjadi salah satu yang terpilih dari Komik (Komunitas Film Kompasiana) untuk nonton bareng film tersebut pada 17 Oktober lalu di Cinemaxx Plaza Semanggi, Jakarta.

Review sinopsis film little big master

Review Film Little Big Master

Film tersebut diangkat dari kisah nyata tentang seorang pendidik bernama Lui Wai-hung. Cerita awalnya, ia terpaksa mengundurkan diri menjadi Kepala Sekolah karena mengeluarkan salah satu murid dalam sebuah kelas anak berbakat.

Ia menilai, sang anak belum pantas masuk ke dalam kelas tersebut dan seharusnya bisa masuk kelas biasa agar bisa berbaur dengan teman sebayanya. Ia juga tak akan tertekan akibat kelas berbakar karena persaingan begitu ketat.

Masalahnya, sang anak yang dikeluarkan dari kelas berbakat tersebut merupakan putra salah satu donatur pada sekolah itu. Akhirnya sang anak tetap dipaksa masuk kelas berbakat dan Wai-hung memilih mundur menjadi kepala sekolah.

Bisa jadi ia akan terbebani masalah moral kepada sang anak. Di sisi lain, ia tertekan pihak sekolah yang menganggap tak menganakemaskan anak sang donatur.

Selepas mundur, ia ingin liburan dengan suaminya, Dong. Ia ingin menghilangkan penat yang selama ini menghantuinya.

Namun saat berolahraga, Wai-hung melihat reportasi di televisi yang menayangkan sebuah sekolah taman kanak-kanak (TK) yang akan ditutup karena hanya memiliki lima murid.

Ia merasa tersentuh melihat tayangan tersebut. Apalagi sekolah yang berada di desa terpencil itu membutuhkan seorang kepala sekolah baru meski hanya digaji HK$ 4.500 (sekitar Rp 7,500 juta pada saat itu).

Tentu pendapatannya sangat jauh bila dibandingkan saat menjadi kepala sekolah di kota. Bahkan dalam perjalanan memimpin sekolah tersebut, ia sekalian diiming-imingi menjadi guru les dengan bayaran HK$ 10 juta (sekitar Rp 17,5 miliar per tahun) dari sebuah yayasan. Artinya, per bulan ia mendapat bayaran Rp 1,4 miliar.

Anda mau membuat sekolah atau bank. Guru adalah pekerjaan berarti. Tugas guru mendidik anak bukan menganakkan uang.”

Lui wai hung

Dalam perjuangan memimpin sekolah yang diisi lima murid dan kebetulan perempuan semua, Wai-hung juga memiliki kendala. Orang tua murid yang kebetulan tak mampu dan memahami pendidikan justru menghalangi sang anak untuk sekolah.

Ada yang menjadi korban perseteruan keluarga, menjadi salah satu tulang punggung keluarga, harus membantu orang tua, hingga trauma karena orang tuanya telah meninggal.

Di sini, peran sebagai guru tak hanya sebatas guru di sekolah. Menjadi guru harus mampu menjadi orang tua di sekolah.

Wai-hung berhasil mencontohkan hal tersebut. Ia diceritakan mendatangani setiap keluarga sang anak dan langsung berbicara dengan keluarganya. Di sini ia bisa mengetahui masalah yang dihadapi muridnya sekaligus mencari solusinya.

“Di sini saya bisa belajar berkomunikasi dengan anak-anak. Anda perlu bersikap seolah-olah Anda sejajar dengan mereka dibandingkan pendekatan atas bawah,” katanya.

Review film little big master

Sepanjang film juga diceritakan kesulitan Wai-hung memimpin sekolah karena tak mampu menambah jumlah murid hingga batas waktu yang ditentukan. Ia juga dicemooh oleh masyarakat sekitar dan kepala yayasan sebuah sekolah swasta yang kebetulan berlimpah siswa.

Di saat ia hampir putus asa, Wai-hung mengajak lima murid dan wali murid piknik. Ia kembali dicemooh karena hanya membawa lima siswa.

Tapi ia ternyata bertemu guru yang mengasuh anak berkebutuhan khusus. Sang guru tersebut sempat berbicara dengan Wai-hung dan menganggapnya lebih beruntung karena mengasuh anak normal.

“Guru yang baik tidak pernah menyerah. Pendidikan yang baik sebenarnya bukan di perangkat keras, tapi di hati guru,” kata guru yang mengajar anak berkebutuhan khusus tersebut.

Lantas bagaimana nasib Wai-hung berikutnya? apalagi ia sempat pingsan karena terlalu capek bekerja. Ia ternyata terkena kanker tiroid dan harus operasi.


Pesan dari Review Film Little Big Master

Yang saya salut dari film ini, si anak selalu diajak mencari mimpinya. Apa impianmu? Pada keluarganya pun ditekankan demikian. Dengan sebuah impian, otak kita akan diajak berjalan, menempuh sebuah pengalaman hidup yang hanya kita yang mampu merasakannya.

Bila ada kegagalan, itu hanya dianggap sebuah kesuksesan yang tertunda. Bila ada keluhan, ubahlah menjadi kekuatan hidup.

Review Film Little Big Master ini sekaligus menyindir pemerintah di negara manapun yang masih membanderol biaya pendidikan tinggi. Di sisi lain, dalam hidup kita tentu pasti bertemu guru yang baik dan mampu mengubah diri kita.

Lantas masih ingatkah kalian pada guru yang sudah mengubahmu menjadi seperti sekarang? Atau apa yang bisa Anda perbuat untuk memerbaiki pendidikan di lingkungan sekitar?

Jawabannya, kembali kepada impianmu dan sebagai balas budi kepada gurumu. Apa yang bisa kau bantu?

Berhubung belum menemukan Review Film Little Big Master di semua platform streaming, kalian bisa lihat film tersebut di YouTube ya. Maaf belum menemukan yang alih bahasa Indonesia. Coba tonton ini yuk.

Fakta-fakta Film Little Big Master:

Sutradara: Adrian Kwan
Produser: Benny Chan
Penulis Naskah: Adrian Kwan dan Hannah Cheung
Pemain: Miriam Yeung sebagai Lui Wang Hung
Louis Koo sebagai Dong
Ho Yun ying Winnie sebagai Ho Siu Suet
Keira Wang sebagai Tam Mei Chu
Fu Shun ying sebagai Lo Ka Ka
Zaha Fathima sebagai Kitty Fathima
Khan Nayab sebagai Jennie Fathima
Richar Ng sebagai Tuan Ho (ayah Siu suet)
Anna Ng sebagai Bibi Han
Phillip Keung sebagai Lo Keung
Lau Yuk tsui sebagai Nyonya Lo

The Little Big Master ditayangkan perdana di Celestial Movies (CM) Minggu, 25 Oktober 2015 pukul 20.00 WIB. Film tersebut menuai banyak pujian dan meraup pendapatan HK$ 46,6 juta (sekitar Rp 80 miliar) di Hong Kong Box Office.

Celestial Movies saluran televisi berbayar yang memutar film Mandarin dan Asia selama 24 jam dengan jangkauan terluas di seluruh dunia. Celestial Movies dapat disaksikan di Indovision (CH.20), K-Vision (CH.47), MatrixTV (CH.9), Nexmedia (CH.508), Okevision (CH.19), Orange TV (CH.162), Skynindo (CH.19), Transvision (CH.112), Top TV (CH.20), Topass TV (CH.61), UTV (CH.691), dan Yes TV (CH.108).

By Didik Purwanto

Copywriter | Ghost Writer | ex Business Journalist | Farmer

9 thoughts on “Review Film Little Big Master: Potret Buruk Wajah Pendidikan”
  1. Aah, ketemu sama Lois Koo nih akhirnya…
    Saya tuh ngefans bangysama dia sejak kerja di HK. Seru kalau lihat akting dia di berbagai genre baik drama maupun film
    Keren sekarang ngambik tema pendidikan. Ceritanya juga itu mirip kejadian pendidikan dan sekolah serta kondisi di Indonesia ya. Hehehe

  2. Wah otw nonton film ini, kebetulan ada Okevision.
    Baca review film The Little Big Mister bikin nostalgia soalnya daku dulu pernah ngajar di playgroup, Kak. Memang jadi guru itu banyak tantangannya. Termasuk menghadapi walimurid yg karakternya beda2 dan kudu sabarrrr.

  3. Sepertinya kalau anak donatur kerap dianakemaskan ya? Dan keknya gak di mana-mana ya kayak gitu polanya. Nah agar gak punya beban moral memang perlu kesadaran dari pihak sekolahnya, salah satunya kepala sekolah, sehingga semua anak punya hak yang sama dalam menempuh pendidikan

  4. Tidak bisa menutup mata sih. Dengan terus meningkatnya biaya pendidikan dari tahun ke tahun, memang benar rasanya tidak semua orang bisa mengenyam pendidikan yang baik. Terlepas dari kitanya mau atau tidak menempuh pendidikan tersebut ya.

  5. Ini pemain ciliknya sekarang udah gede semua kali yak, mengingat film ini tahun 2015 lalu hehehe.. tapi kalo dari review, film ini sangat berisi pesan untuk pemerintah soal biaya pendidikan yang semakin tinggi

  6. Soal anak Donatur yang Harus diistimewakannya memang sejak dulu terjadi. Akhirnya kadang anak belagu. Guru pun kadang terpaksa menuruti. Dan di film ini, Akhirnya sang guru yang mengalah ya, padahal maksudnya bIk, agar sang anak menjalani pendidikan sesuai kemampuannya dulu. Jadi tidak harus dipaksakan.

  7. Ulasan yang tajam! Film ini memang menyentuh isu krusial dalam pendidikan. Potret sekolah yang memprihatinkan dan perjuangan guru yang penuh dedikasi sangat menggugah. Semoga film ini bisa menjadi refleksi bagi kita semua.

  8. Wahh aku ngga pernah tahu ada film sekeren ini ternyata, kok ngga masuk di Indo yaa pas tayang di layar lebar? hehe.. kalo ada pasti seru banget ituu kayak film2 korea skrg yang udah mulai ngerambah ke layar lebarnya Indo

  9. Aku terharruu..
    Ada guru yang sangat berdedikasi untuk mengabdikan dirinya mencerdaskan harapan bangsa memang dimulai dari pendidikan sejak dini. Pondasi kuat, karakter hebat!
    Memang tanggungjawab pendidikan ini gak hanya ada di sekolah, tetapi mostly di rumah.
    Makanya kudu banget bikin anak-anak kecil optimis dengan impian-impian mereka yang mungkin terasa gak nyata, tapi siapa tahu akan menjadi nyata di masa depan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *